Skip to main content

BAB II. Urgensi EAFM di Perairan Darat

2.1. Performa Pengelolaan Perikanan di Perairan Darat

Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) untuk perairan darat mendukung implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang terdiri atas 17 tujuan global dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk perdamaian dan kemakmuran manusia dan planet bumi sekarang dan masa depan. Secara langsung, EAFM untuk perairan darat sendiri terkait dengan beberapa tujuan antara lain: (1) Tanpa kemiskinan; (2) Tanpa kelaparan; (5) Kesetaraan gender; (13) Penanganan perubahan iklim; (14) Ekosistem laut; (15) Ekosistem daratan. 

Pengelolaan perikanan berkelanjutan  kewajiban  kewajiban dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) FAO 1995, pasal  6 mengenai prinsip umum (general principle) yang pada ayat 1 (6.1) menyebutkan bahwa negara dan pengguna sumber daya air hayati  harus melestarikan ekosistem perairan. Hak untuk menangkap ikan disertai dengan kewajiban untuk melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab untuk memastikan konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati perairan yang efektif. Lebih lanjut disebutkan pada pasal 6 ayat2 (6.2) bahwa pengelolaan perikanan harus mendorong pemeliharaan kualitas, keragaman dan ketersediaan sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi sekarang dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Tindakan pengelolaan seharusnya tidak hanya menjamin konservasi spesies yang dimanfaatkan tetapi juga spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau yang berasosiasi dengan atau bergantung pada spesies yang dimanfaatkan.

Dalam pasal selanjutnya, FAO menyebutkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan meliputi pencegahan penangkapan ikan yang berlebihan dan menerapkan langkah-langkah pengelolaan untuk memastikan upaya penangkapan ikan berimbang dengan kapasitas produksi sumber daya perikanan dan pemanfaatannya. Selain itu, keputusan konservasi dan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia, juga dengan mempertimbangkan pengetahuan tradisional tentang sumber daya dan habitatnya, serta faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial yang relevan. Negara harus menetapkan prioritas penelitian dan pengumpulan data guna  meningkatkan pengetahuan ilmiah dan teknis perikanan termasuk interaksinya dengan ekosistem. Selain itu, juga disebutkan prinsip tentang alat dan praktik penangkapan ikan yang selektif dan aman bagi lingkungan harus dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut, selagi dapat dipraktikkan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan untuk melestarikan struktur populasi dan ekosistem perairan serta melindungi kualitas ikan.

Prinsip tentang kelembagaan dalam pengelolaan perikanan disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 (7.1), yang menyebutkan bahwa negara dan semua yang terlibat dalam pengelolaan perikanan harus melalui kebijakan, kerangka hukum dan kelembagaan yang tepat, mengadopsi langkah-langkah untuk konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Tindakan konservasi dan pengelolaan baik di tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan dirancang untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang sumber daya perikanan pada tingkat yang mendorong tujuan pemanfaatan dan pemeliharaan yang optimal serta ketersediaannya untuk generasi sekarang dan yang akan datang; pertimbangan jangka pendek tidak boleh berkompromi dengan tujuan-tujuan ini.

Mengacu pada Undang-Undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang diklasifikasikan sebagai perairan darat meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya. Wilayah pengelolaan perikanan di Republik Indonesia untuk penangkapan dan/atau pembudidayaannya dilakukan di wilayah perairan yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) serta di wilayah perairan darat tersebut sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009. Perairan darat Indonesia terdiri dari sekitar 5.590 sungai utama dengan panjang total mencapai 94.573 km dan sekitar 65.017 anak sungai, sekitar 840 danau dan 735 situ (danau kecil) serta sekitar 162 waduk (Depkimpraswil, 2003).  Berdasarkan kajian BRSDMKP (2021), hasil perhitungan sementara luas badan air di perairan darat mencapai 19,7 juta ha. Dari total luas perairan darat tersebut, sebesar 65% berada di Kalimantan, 23% di Sumatera, 7,8% di Papua, 3,5% di Sulawesi, dan 0,7% di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Sarnita, 1986; Kartamihardja, 2005).

Gambar 1. WPPNRI di Perairan Darat (sumber: Permen KP nomor 9 tahun tahun 2020)


Berdasarkan dokumen Pusat Penelitian Limnologi LIPI (2020) perairan darat berupa danau yang masih teridentifikasi sebagai perairan-perairan tergenang di wilayah Indonesia mencapai sekitar 5.807 area dengan bermacam ukuran, dari mulai ukuran sangat kecil (< 1 ha) sebanyak 1896 area, berukuran kecil (1-1000 ha) 3850 area, berukuran sedang (1000-10.000 ha) 52 area, berukuran besar (10.000 – 100.000 ha) 8 area, dan berukuran sangat besar (>100.000 ha) sebanyak satu area. Kalimantan ternyata memiliki area perairan darat yang paling banyak (1896 area).

Perairan darat yang berupa sungai yang tercatat di wilayah Indonesia sekitar 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai dengan panjang keseluruhan sungai utama 94.573 km dan luas daerah aliran sungai mencapai 1.512.466 km2 (Depkimpraswil, 2003). Mengikuti klasifikasi Sunaryo et al. (2004) berdasarkan      panjangnya, perairan sungai di Indonesia terdiri dari yang >400 km (15 sungai), panjang 200 – 399 km (27 sungai), panjang 100 – 199 km (80 sungai), panjang 50 -99 km (208 sungai) dan berukuran panjang < 50 km (5.260 sungai), dengan jumlah total mencapai 5.590 sungai.

Perairan rawa yang merupakan perairan daratan dangkal dan cekungan lahan basah dengan kondisi tanah jenuh air hingga kadang dicirikan oleh keberadaan tumbuhan yang dominan. Berdasarkan kriteria Scott (1989) perairan tipe rawa di wilayah Indonesia terdiri dari mangrove (3.267 x 103 ha), rawa gambut (16.618 x 103 ha), rawa air tawar (5.166 x 103 ha), rawa air tawar musiman (19 x 103 ha), rawa gambut musiman (355 x 103 ha), sehingga luas totalnya di Indonesia mencapai 25.425.200 ha.

Perairan Waduk merupakan badan air buatan sebagai hasil pembendungan (bendungan) pada satu segmen sungai. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2010 tentang bendungan, tujuan dibangunnya bendungan antara lain untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, pengendali daya rusak air, dan fungsi pengamanan lainnya. Fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pengairan, pengendali banjir, dan fungsi tambahan untuk sumber air baku, perikanan, pariwisata dan transfortasi air. Berdasarkan data tahun 1995 (Kasiro et. al., 1995) jumlah waduk dan bendungan besar di Indonesia mencapai 82 unit. Jumlah bendungan yang tercatat di Balai Bendungan Kementerian PUPR adalah 209 unit, 178 unit diantaranya dimiliki oleh PU. Luas total perairan waduk saat ini adalah 1.036.770,4 x 103m2, sedangkan kapasitas (volume)-nya mencapai 15.621.019,3 x 103 m3.

Berdasarkan Peraturan Menteri no. 9 Tahun 2020 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia di Perairan Darat disebutkan bahwa pengelolaan perikanan perairan darat di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia perlu dilakukan secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan karakteristik ekologi, limnologi, dan zoogeografi yang berbeda sehingga pengelolaan perikanannya harus berbasis pada wilayah sehingga perlu ditetapkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) pada perairan darat. WPP NRI PD dibagi menjadi 14 yaitu:

  1. WPPNRI PD 411 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Papua bagian utara, Kepulauan Yapen, Pulau Numfor, Pulau Biak dan Pulau Yerui. 

  2. WPPNRI PD 412 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Papua bagian selatan, Kepulauan Romang, Kepulauan Letti, Kepulauan Damer, Kepulauan Babar, Kepulauan   Tanimbar, Kepulauan Kur, Kepulauan Tayando, Kepulauan Kai, Kepulauan Aru, Pulau Kisar, Pulau Nuhuyut, Pulau Kolepom, dan Pulau Komolom. 

  3. WPPNRI PD 413 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Papua bagian barat, Kepulauan Sula, Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom, Kepulauan Watubela, Kepulauan Obi, Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, Pulau Bacan, Pulau Mandioli, Pulau Buru, Pulau Ambalau, Pulau Seram, dan Pulau Ambon. 

  4. WPPNRI PD 421 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Sulawesi, Kepulauan Talaud, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Sitaro, Kepulauan Banggai, Kepulauan Selayar, Kepulauan   Wakatobi, Pulau Unauna, Pulau Togian, Pulau Batudaka, Pulau Walea Besar, Pulau Menui, Pulau Wawonni, Pulau Buton, Pulau Muna, dan Pulau Kabaena. 

  5. WPPNRI PD 422 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Timor (bagian wilayah Indonesia), Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Sumba, Kepulauan Solor, Kepulauan Alor, Pulau Sabu, Pulau Wetar, dan Pulau Rote. 

  6. WPPNRI PD 431 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Jawa bagian timur, Kepulauan Kangean, Pulau Madura, Pulau Giliraja, Pulau Puteran, Pulau Giligenting, Pulau Sapudi, Pulau Raas, Pulau Nusabarong, Pulau Bali, dan Pulau Nusapenida.

  7. WPPNRI PD 432 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Jawa bagian selatan, Pulau Panaitan, dan Pulau Tinjil. 

  8. WPPNRI PD 433 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Jawa bagian barat-utara, Kepulauan Seribu, Pulau Sangiang, Pulau Panjang, dan Pulau Tunda. 

  9. WPPNRI PD 434 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Jawa bagian tengah-utara, Kepulauan Karimun Jawa, dan Pulau Bawean. 

  10. WPPNRI PD 435 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Kalimantan bagian barat-selatan, Kepulauan Karimata, Pulau Maya, Pulau Laut, dan Pulau Sebuku. 

  11. WPPNRI PD 436 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Kalimantan bagian timur dan Kepulauan Derawan. 

  12. WPPNRI PD 437 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Kalimantan bagian utara, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Pulau Nunukan, dan Pulau Sebatik (bagian wilayah Indonesia). 

  13. WPPNRI PD 438 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Sumatera bagian timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kepulauan Meranti, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna, dan Pulau Rupat. 

  14. WPPNRI PD 439 meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya di Pulau Sumatera bagian barat-utara, Kepulauan Banyak, Kepulauan Batu, Kepulauan Mentawai, Kepulauan Pagai, Pulau   Weh, Pulau Bateeleblah, Pulau Simeuleu, Pulau Nias, dan Pulau Enggano.

Pengelolaan perikanan keberlanjutan menjadi kewajiban dari negara dalam hal ini melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana dinyatakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) FAO 1995, pasal 6 (general principle) yang pada ayat 1 (6.1) menyebutkan bahwa negara dan pengguna sumber daya air hayati harus melestarikan ekosistem perairan. Hak untuk menangkap ikan disertai dengan kewajiban untuk melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab untuk memastikan konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati perairan yang efektif.

Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana diubah dalam Undang-undang no. 45 tahun 2009, bahwa perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Berdasarkan Undang-Undang 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan UU 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, saat ini pengelolaan sumber daya air merupakan kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam kerangka pengelolaan sumber daya air, Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk salah satu stakeholder yang memiliki kepentingan mengelola sumber daya ikan yang berada di dalamnya. 

Undang-undang No. 07 tahun 2016 tentang perlindungan nelayan menyebutkan nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT). Sedangkan nelayan tradisional adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal. Sementara itu, nelayan buruh adalah nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan. Perlindungan nelayan dalam undang-undang tersebut berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana dalam pengembangan usaha; kepastian usaha; peningkatan kemampuan dan kapasitas nelayan dalam mengelola sumber daya kelautan dan usaha mandiri; sistem dan kelembagaan pembiayaan, risiko bencana alam, perubahan iklim serta pencemaran; dan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 48/PERMEN-KP/2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan pada pasal 61 bahwa Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di bidang pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan di perairan darat, laut pedalaman, teritorial dan perairan kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas, serta pemantauan dan analisis pengelolaan sumber daya ikan.

Sementara itu, terkait dengan alat penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Perairan darat diatur dalam permen KP No. 18 tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Beberapa jenis alat tangkap yang diatur penggunaannya antara lain jaring tarik sempadan, jaring angkat (anco, bagan apung, bagan tancap), jala tebar, jaring insang (jaring insang tetap, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang berlapis), perangkap (bubu, togo, sero), pancing (pancing ulur, pancing berjoran, rawai dasar) dan alat penangkapan lainnya (tombak, panah, pukat dorong, seser). Permen ini juga mengatur tentang penggunaan kapal (termasuk ukuran), jalur penangkapan meliputi sungai, danau, rawa, waduk, dan genangan air lainnya (GAL). 

Peraturan lain yang terkait dengan praktik perikanan di perairan darat adalah Permen KP. No. 10 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha Dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan Dan Perikanan. Ruang lingkup untuk penangkapan ikan  di perairan darat mencakup usaha atau kegiatan penangkapan ikan air tawar seperti ikan betok, sepat, bilih, depik, genggehek, kancera, kendia, lalang, mas, lukas, repang, lampan, tawes, seren, tontong tebu, tambakan, tempe, sumpit, sepat rawa, berukung, jelawat, parang, bentilak, lais, sepat siam, teri, betutu, gurame, sidat, baung, keting, gabus, toman, lele, hampal, lalawak, mujair, nila, beunteur, koan, nilem, semah, silih, patin, lempuk, dan lain sebagainya  di perairan darat, seperti di danau, sungai, waduk, rawa dan genangan air lainnya. Hal yang perlu digarisbawahi dari Permen ini salah satunya adalah kewajiban untuk melaporkan hasil pencatatan perikanan dengan logook perikanan sebagai persyaratan khusus berusaha baik untuk skala usaha mikro (termasuk tanpa kapal) maupun skala usaha kecil, menengah, dan besar.

Terkait dengan acuan pengelolaan perikanan pada WPP NRI termasuk Perairan Darat, Pemerintah menerbitkan Permen KP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan dan Lembaga Pengelola Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. RPP disusun untuk menjadi pedoman bagi kementerian, pemerintah daerah, instansi terkait, dan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan (Pasal 24).  Dalam penyusunan dokumen RPP Jenis Ikan di Perairan Darat yang ditentukan sesuai dengan kewenangan pemerintah. Selain itu, Permen ini juga menyebutkan pentingnya Lembaga Pengelola Perikanan di WPPNRI PD dengan struktur sebagai berikut: 





Gambar 2. Struktur Lembaga Pengelola Perikanan di WPPNRI PD

Pemerintah menerbitkan KepMen KP No. 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi. Jenis perlindungan yang diterapkan adalah perlindungan penuh dan perlindungan terbatas. Perlindungan penuh dilakukan pada seluruh tahapan siklus hidup termasuk bagian tubuhnya dan produk turunannya. Sedangkan perlindungan terbatas dilakukan dengan ketentuan larangan menangkap sepanjang waktu, kecuali anakan ukuran 3 (tiga) cm sampai dengan 5 (lima) cm dapat ditangkap pada bulan November, Desember, Januari, dan Februari. Jenis ikan yang dilindungi dengan status perlindungan penuh antara lain: 


  1. Fluvitrygon oxyrhynchus (pari sungai tutul); 

  2. Urogymnus polylepis (pari sungai raksasa); 

  3. Fluvitrygon signifier (pari sungai pinggir putih); 

  4. Scleropages formosus (arwana kalimantan); 

  5. Chitala borneensis (belida borneo); 

  6. Chitala hypselonotus (belida sumatra); 

  7. Chitala lopis (belida lopis); 

  8. Notopterus notopterus (belida jawa); 

  9. Balantiocheilos melanopterus (ikan balashark); 

  10. Barbodes microps (wader goa); 

  11. Neolissochilus thienemanni (ikan batak); 

  12. Schismatorhynchus heterorhynchus (pasa); 

  13. Homaloptera gymnogaster (selusur maninjau); 

  14. Anoxypristis cuspidata (pari gergaji lancip); 

  15. Pristis clavata (pari gergaji kerdil); 

  16. Pristis pristis (pari gergaji gigi besar); 

  17. Pristis zijsron (pari gergaji hijau); 

  18. Urolophus kaianus (pari kai); dan 

  19. Latimeria menadoensis (ikan raja laut).

Sedangkan jenis ikan dengan status perlindungan terbatas berdasarkan periode waktu tertentu dan ukuruan tertentu adallah Scleropages jardinii (arwana irian).

Walaupun beberapa peraturan telah diterbitkan, bukan berarti perangkat pengelolaan perikanan di perairan darat telah lengkap dan sempurna. Masih terdapat beberapa kekurangan dalam tata kelola perairan darat. Sampai saat ini, yang perlu dicari solusi pemecahan masalahnya antara lain masih minimnya stock assessment untuk komoditas perikanan, informasi pasti perihal musim penangkapan, dan aturan penangkapan. 


Kearifan Lokal

Menurut Francis Wahono (2005 dalam Widarmanto, 2018), kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Kearifan Lokal merupakan solusi dalam menjaga kelestarian perairan, beberapa peraturan adat seringkali lebih dipatuhi dibanding peraturan pemerintah karena kalau melanggar adat, maka bisa dikucilkan oleh masyarakat.  Peraturan adat biasanya mengatur kapan warga boleh mencari ikan, cara-cara yang sesuai, serta aturan lain yang bertujuan untuk   kelestarian ikan dan hasil-hasil perairan, sehingga dapat dipertahankan sampai anak cucunya kelak.

Terence Ranger & Eric Hobsbawm (1983) mengemukakan "invented tradition" sebagai seperangkat praktik, yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai dan norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kearifan lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu (masa lalu, sekarang, dan yang akan datang), sehingga dimungkinkan ada upaya sambung-menyambung dan seiring kehidupan manusia dalam setting dan konteks yang berubah-ubah sesuai zamannya. Di sini yang dipentingkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan kebermafaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat seluas-luasnya yang menjadi pendukung kebudayaan setempat.  

Kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya alam sudah ada di masing-masing daerah, misalnya: 

  • Sasi di Saparua; 

  • Lahan lebak di Kalimantan Timur; 

  • Lebak lebung di Sumatera Selatan

  • Sistem Rumpon Way Muli di Lampung; 

  • Ngrumpon di Sumedang

  • Manajemen Danau Sentarum di Kalimantan Barat; 

  • Pengelolaan Rawa Singkil di Nangroe Aceh Darussalam;    

  • Lubuk Larangan di Jambi, Riau; 

  • Lubuk larangan, penataan ruang banua/huta, tempat keramat 'naborgo-borgo' atau 'harangan rarangan' (hutan larangan) di Mandailing Sumatera Utara 

  • Ikan larangan Sungai Geringging di Sumatera Barat

  • Macoa Tappareng

  • Reservat perikanan Danau Loa Kang di Kalimantan Timur

Hal-hal tersebut adalah pola pelestarian oleh lembaga-lembaga adat dan masyarakat setempat.

Menurut LIPI, ekosistem perairan darat berperan antara lain dalam menyediakan sumber pangan dan air minum yang aman dan bersih, kegiatan rekreasi, sosial, dan budaya, mengendalikan iklim dan siklus unsur hara, serta mengatur sistem hidrologi suatu kawasan. Oleh karena itu, perairan darat merupakan komponen penting dari suatu daratan yang menunjang kehidupan manusia. Untuk mencegah dampak yang timbul akibat pemanfaatan secara tidak bijaksana terhadap sumber daya perairan darat, dibutuhkan pengelolaan sumber daya perairan darat berkelanjutan yang memperhatikan daya dukung ekosistem perairan darat tersebut. Interaksi perairan darat dengan sektor lain, seperti pangan dan energi, dapat melibatkan para pemangku kepentingan, baik dari sektor pemerintahan maupun non pemerintahan.

Habitat perairan darat merupakan tempat hidup dan berkembang biak berbagai jenis biota akuatik mulai dari yang berukuran kecil seperti bakteri, plankton, benthos sampai dengan ukuran besar seperti ikan, udang, kepiting, dan lain-lain.

Fungsi ekonomis mencakup dukungan terhadap sektor air minum dan sanitasi, perikanan, pertanian, kehutanan, energi, industri, transportasi, dan pariwisata. Sementara itu sektor pendidikan, olah raga, rekreasi, budaya, dan keagamaan merupakan beberapa contoh kontribusi dari fungsi sosial perairan darat. Potensi nilai ekonomi dari sumber daya perairan darat diperkirakan dapat mencapai ratusan hingga ribuan triliunper tahun. Beberapa contoh di antaranya: penyediaan 100 persen akses air minum aman memerlukan anggaran sebesar Rp. 143 triliun/tahun (PUPR, 2021), pengelolaan sarana dan prasarana sumber daya air senilai Rp. 40.6 trilyun/tahun (PUPR, 2020), dan produksi perikanan tangkap di perairan umum senilai Rp. 12.72 trilyun/tahun (BPS, 2018).

Besarnya potensi yang dapat disumbangkan kepada perekonomian nasional dari sumber daya perairan darat menuntut perhatian yang semakin tinggi dari semua pemangku kepentingan untuk mengelolanya dengan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa posisi geografis di jalur katulistiwa menjadikan wilayah nusantara sangat peka terhadap perubahan yang terjadi dan cenderung menyebabkan penurunan kondisi atau degradasi lingkungan dari aspek kualitas maupun kuantitasnya. Selain tekanan pemanfaatan melalui aktivitas antropogenik seperti pencemaran, perubahan fungsi lahan serta eksploitasi sumber daya alam; fenomena perubahan iklim global turut berkontribusi dalam perubahan ekosistem dan lingkungannya. Kondisi tersebut sering diperparah oleh meningkatnya frekuensi bencana yang melanda seperti banjir, longsor, gempa bumi, maupun cuaca yang sangat ekstrem.

Dari aspek budaya, ekosistem perairan darat banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk melaksanakan beberapa kegiatan yang telah menjadi tradisi antara lain perahu naga di beberapa sungai di Indonesia yaitu Sungai Cisadane, Badung, Kota Padang dan beberapa tempat lain di Indonesia. Selain itu ada juga ritual larung sesaji yang dilaksanakan di beberapa sungai di Indonesia misalnya Larung Sesaji Labuh Bumi di sungai Brantas.


https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/05/181100223/sumber-daya-perairan-darat-dikelola-atau-menjadi-sumber-bencana?page=all.

2.2. Isu Pengelolaan Perikanan di Perairan Darat

Isu-isu terkait perlunya pengelolaan perikanan di perairan darat meliputi: Pencemaran fisik dan kimia perairan, pendangkalan perairan, modifikasi habitat atau lingkungan perairan, kerusakan habitat, ancaman terhadap biodiversitas, penurungan tingkat produksi dan ukuran hasil tangkapan, keberadaan spesies introduksi atau invasive, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, konflik pemanfaatan sumber daya perairan, serta informasi hasil tangkapan.


Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan pangan meningkat di semua wilayah termasuk permintaan terhadap ikan. Kebutuhan nasional dan meningkatnya permintaan ekspor dari negara-negara maju, memberikan tekanan besar pada sumber daya perikanan air tawar.


Ketahanan Pangan

Di daerah yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap perikanan darat terutama pada segmen masyarakat termiskin, dampak terganggunya perikanan darat mengakibatkan rumah tangga nelayan menjadi sangat rentan. Apalagi bila melibatkan masyarakat dari negara berkembang dengan ciri khas pendapatan rendah dan kurang pangan. Perikanan tangkap secara garis besar telah mencapai batasnya, tidak bisa lagi diharapkan untuk meningkatkan volume produksi. Hal ini tidak sejalan dengan populasi manusia (permintaan) yang semakin meningkat dan target peningkatan produksi setiap tahun dicanangkan oleh beberapa negara. 

Masyarakat nelayan sebagian besar tidak memiliki pilihan mata pencaharian alternatif dan kepasitasnya terbatas untuk bisa mengatasi degradasi perikanan darat mulai dari overfishing atau dampak lingkungan (seperti polusi, bendungan sungai dan perubahan ketersediaan air).

Dengan tujuan untuk meningkatkan produksi perikanan, apabila dibandingkan dengan latar belakang lemahnya kelembagaan dan tata kelola, perikanan dapat mencapai intensitas yang tinggi dan menyebabkan perikanan pada jaring makanan berada pada kasus ekstrim. Hal tersebut menyebabkan perubahan pada spesies dengan trophic level rendah dan kisaran ukuran tangkapnya. Pada perikanan skala kecil dan ekosistem yang lebih luas, hal tersebut berdampak pada kualitas dan ketahanan perikanan secara umum. 


Perikanan Semakin Tidak Menguntungkan 

Pertumbuhan ekonomi dan menurunnya hasil tangkapan membuat pelaku perikanan menambah upaya perikanan, termasuk menggunakan alat tangkap ilegal untuk mempertahankan hasil tangkapan ikan dan pendapatan mereka. 


Gender 

Perempuan memiliki peran penting dalam pengolahan dan pemasaran ikan dan sering secara aktif terlibat dalam penangkapan ikan. Aksi pengelolaan perikanan yang disusun dengan mempertimbangkan aspek gender dapat berdampak pada tingkat penghasilan mereka untuk keluarga mereka/rumah tangga. Pendapat atau pandangan perempuan sangat penting untuk memeperoleh dukungan dalam perencanaan pengelolaan perikanan dan kuat dalam mengadvokasikan perikanan berkelanjutan dan kepatuhan terhadap aksi pengelolaan.


Konflik

Peningkatan upaya penangkapan dapat mengakibatkan konflik antara pengguna sumber daya atas penurunan stok yang dapat dimanfaatkan. Konflik antara nelayan migran lokal dan musiman sering terjadi. Konflik juga dapat terjadi pada badan air yang lebih besar, antara nelayan skala kecil dan operasi penangkapan ikan skala besar. Konflik antara nelayan skala kecil pengguna sumber daya air lainnya (irigasi, pertanian, tenaga air, pariwisata, dan budidaya) dan otoritas yurisdiksi (misalnya irigasi dan pembangkit listrik) menjadi lebih sering. Ada juga konflik antara mereka yang memancing untuk makanan dan mereka yang memancing untuk rekreasi. Kesenjangan ekonomi antar kelompok dapat mendorong konflik dan menyebabkan hasil yang tidak adil/setara.


Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi, seperti pengenalan motorisasi (mesin yang hemat bahan bakar dan perawatan yang mudah), material yang lebih baik seperti jaring monofilamen, alat penarik cahaya, dan telepon seluler, telah memungkinkan para nelayan untuk mengeksploitasi perikanan secara lebih intensif dan efisien daripada yang pernah dibayangkan dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu. Dalam banyak kasus kemajuan tersebut telah berkontribusi pada konflik antara nelayan dan menyebabkan penangkapan ikan yang berlebihan


Konflik pemanfaatan sumber daya perairan

Definisi konflik pemanfaatan sumber daya perairan dalam petunjuk teknis ini adalah persinggungan kepentingan perikanan dalam suatu komunitas, mulai dari konflik yang disebabkan oleh perbedaan pemanfaatan sumber daya (resources conflict), perbedaan kebijakan/aturan yang diterapkan (policy conflict), perbedaan operasional penangkapan ikan (fishing conflict) termasuk alat, metode dan daerah penangkapan ikan. Disamping sektor perikanan, beberapa sektor yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan antara lain sektor pekerjaan umum/sumber daya air/tata ruang, sektor pertanian, sektor energi dan sumber daya mineral, sektor pariwisata, dan sektor perhubungan. Pengukuran indikator konflik pemanfaatan sumber daya perairan dilakukan untuk mengetahui potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan sumber daya perairan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Dalam mengukur indikator konflik pemanfaatan sumber daya perairan, paramater yang diukur antara lain keragaan kepentingan pemanfaatan sumber daya perairan, dan keragaan aturan yang diterapkan terkait pemanfaatan sumber daya perairan. 


Ancaman Terkait Iklim Terhadap Ketahanan dan Kerentanan Terhadap Bencana Alam

Ekosistem air tawar rentan terhadap faktor-faktor yang didorong oleh iklim seperti banjir dan kekeringan, serta perubahan suhu di luar musim. Beberapa komunitas nelayan pedalaman rentan terhadap bencana (badai/badai topan, banjir, dll.) dan semua perikanan darat akan terpengaruh sampai tingkat tertentu oleh perubahan iklim dan variabilitas jangka panjang (perubahan produksi pertanian dan permintaan air, kebutuhan tenaga air, perubahan air mengalir). Hal ini dapat berdampak pada destabilisasi jangka panjang yang signifikan pada sistem sosial-ekonomi. Isu variabilitas iklim yang lebih luas terkait dengan hal ini meliputi: destabilisasi populasi pedesaan, peningkatan migrasi dan akses ke air tawar.


2.3. Pentingnya Implementasi EAFM di Perairan Darat

Menurut FAO, dalam konteks perikanan, spesies ikan bergantung pada lingkungannya dan ekosistem pendukungnya dan dipengaruhi oleh berbagai aktivitas penangkapan ikan, aktivitas manusia lainnya, dan proses alam. Penangkapan ikan dapat berdampak pada ekosistem perairan dengan: (1) menangkap spesies yang tidak diinginkan (bycatch); (2) menyebabkan kerusakan fisik pada habitat bentik dan riparian; (3) perubahan komposisi spesies; dan (4) pemutusan rantai makanan. Aktivitas manusia lainnya yang tidak terkait dengan penangkapan ikan, seperti penggunaan lahan pertanian dan limpasan, kehutanan, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, dan spesies dan patogen yang diperkenalkan juga dapat memengaruhi ekosistem perairan, termasuk banyak spesies yang dikandungnya. Selain itu, kondisi manusia dan alam pada ekosistem air tawar semakin diperburuk oleh efek perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach - EA) sekarang diterima sebagai pendekatan pengelolaan yang berlaku untuk berbagai skala, sektor dan pendekatan multi-sektor. Istilah "pendekatan ekosistem" (EA) ini pertama kali diciptakan pada awal 1980-an, tetapi diterima secara formal di KTT Bumi di Rio pada tahun 1992, di mana ia menjadi konsep yang mendasari Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD: Convention on Biological Diversity) yang mendefinisikannya sebagai: 

“Strategi pengelolaan terpadu tanah, air dan sumber daya hayati yang mempromosikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dengan cara yang adil.”

Penerapan EA membantu menyeimbangkan tiga tujuan CBD: konservasi; penggunaan berkelanjutan; dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya genetik. Akibatnya, EA dapat dianggap sebagai cara untuk memperkenalkan pembangunan berkelanjutan, sebuah konsep yang telah menggantikan kebijakan pembangunan sebelumnya yang hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Brundtland (1987) sebagai:

“Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”

Perlu diperhatikan bahwa “pembangunan” dalam definisi ini mengacu pada peningkatan kesejahteraan manusia dan pembangunan inilah yang perlu berkelanjutan. Artinya, kita perlu menemukan keseimbangan antara kesejahteraan ekologis (ecological well-being) dan kesejahteraan manusia (human well-being), sehingga pembangunan tidak merusak basis sumber daya alam yang menjadi tumpuannya, tetapi juga menghindari perlindungan berlebihan terhadap sumber daya yang dapat menghambat pembangunan. Keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan ekologi ini hanya dapat dicapai melalui tata pemerintahan yang baik.


Kesejahteraan Ekologis (Ecological Well-Being)

Ada lima aspek utama kesejahteraan ekologis yang relevan dengan ekosistem perairan: 

  • ekosistem sehat yang memaksimalkan barang dan jasa ekosistem; 

  • keanekaragaman hayati yang menjaga ketahanan ekosistem; 

  • struktur dan habitat ekosistem yang mendukung (termasuk daerah aliran sungai yang terhubung); 

  • danau, sungai, lahan basah, daerah aliran sungai yang sehat; dan 

  • jaring-jaring makanan berdasarkan berbagai sumber produksi primer.

Kesehatan ekosistem sering dinyatakan dengan menggunakan indikator dalam hal karakteristik terukur yang menggambarkan: 

  • proses utama yang menjaga ekosistem yang stabil dan berkelanjutan (misalnya kualitas air untuk mendukung kehidupan dipertahankan dan tidak adanya faktor penyebab deoksigenasi, seperti eutrofikasi dan pertumbuhan alga; 

  • zona dampak manusia yang tidak meluas atau memburuk (misalnya pengurangan luasan spasial nitrogen dan fosfor pertanian dan limbah); dan 

  • habitat kritis yang tetap utuh (misalnya habitat riparian, hutan banjir, lahan basah, rawa, padang rumput air).

Kesejahteraan Manusia (Human Well-Being)

Kesejahteraan manusia mengacu pada semua komponen manusia yang bergantung pada, dan memengaruhi, ekosistem. Kesejahteraan manusia mencerminkan berbagai kegiatan atau pencapaian yang merupakan 'kehidupan yang baik'. Juga diterima bahwa kesejahteraan adalah konsep multidimensi yang mencakup semua aspek dan tingkat kehidupan manusia. Pendapatan, dengan sendirinya, meskipun merupakan komponen penting, tidak dapat secara memadai menangkap luasnya atau kompleksitas konsep kesejahteraan manusia.

Delapan aspek kesejahteraan manusia adalah: 

  • standar hidup material (pendapatan, makanan dan kekayaan); 

  • kesehatan; 

  • pendidikan; 

  • kegiatan pribadi (rekreasi dan pekerjaan); 

  • suara politik dan pemerintahan; 

  • hubungan dan hubungan sosial / budaya; 

  • lingkungan hidup (kondisi sekarang dan masa depan); dan 

  • leamanan ekonomi dan keselamatan manusia

Aspek-aspek ini didasarkan pada keyakinan bahwa mengukur kesejahteraan manusia melampaui laporan dan persepsi subjektif, dan harus mencakup ukuran objektif dari tingkat "set peluang" masyarakat dan kapasitas atau kebebasan mereka untuk memilih peluang ini. dalam kehidupan yang mereka hargai. Baik faktor obyektif maupun subyektif penting dalam pengukuran delapan aspek yang disebutkan di atas.


Tata Kelola yang Baik

Mengacu pada institusi dan pengaturan yang efektif untuk menetapkan dan menerapkan aturan serta regulasi yang menyeimbangkan ekologi dan kesejahteraan manusia. Singkatnya, tata kelola yang baik terkait dengan penatagunaan di mana individu, organisasi, komunitas, dan masyarakat berusaha untuk mempertahankan kualitas ekosistem yang sehat dan tangguh serta populasi manusia yang bergantung dengannya. 


Kenapa EAFM

EAFM adalah (Ecosystem Approach/EA) yang diterapkan pada perikanan. Dengan kata lain:


“EAFM adalah cara praktis untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan perikanan dengan menemukan keseimbangan antara ekologi dan kesejahteraan manusia, melalui pemerintahan yang baik.”

“EAFM mewakili perpindahan dari sistem manajemen yang hanya berfokus pada pemanfaatan spesies target yang berkelanjutan, ke sistem yang juga mempertimbangkan komponen dalam suatu ekosistem, dan manfaat sosial dan ekonomi yang dapat berasal dari pemanfaatannya” (FAO 2012).


“EAFM adalah pendekatan ekosistem yang diterapkan pada perikanan yaitu cara praktis untuk menerapkan berkelanjutan pembangunan dan memaksimalkan ekosistem secara berkelanjutan manfaat sistem perikanan”


Kata ekosistem merujuk pada sistem perikanan sebagai sistem sosio-ekologis yang terintegrasi, dengan manusia sebagai bagian integral dari ekosistem.

EAFM dapat diterapkan pada berbagai lingkungan perikanan termasuk perikanan lepas pantai, pesisir, dan perairan darat. Manfaat EAFM memiliki berfokus pada kesejahteraan manusia maupun kesejahteraan ekologis. Dengan demikian pendekatan ini berusaha untuk menyeimbangkan konservasi keanekaragaman hayati, struktur, serta fungsi ekosistem, dengan kebutuhan manusia untuk memanfaatkan sumber daya untuk makanan, pendapatan dan mata pencaharian. Untuk mencapai keseimbangan ini, EAFM membutuhkan kerangka tata kelola yang efektif.

TIGA KOMPONEN EAFM Pembangunan berkelanjutan dapat disimpuakan sebagai keseimbangan antara kesejahteraan ekologis dan kesejahteraan manusia yang tidak membahayakan kebutuhan generasi mendatang dan dilaksanakan melalui tata kelola yang baik.

Graphical user interface, application, table  Description automatically generated

Gambar 3. Komponen EAFM (FAO, 2019)

EAFM memungkinkan isu-isu berskala lebih besar dan berjangka panjang untuk diakui dan dimasukkan ke dalam pengelolaan perikanan (misalnya implikasi jangka panjang dari perubahan iklim, degradasi habitat, pertumbuhan populasi, pembangunan ekonomi, globalisasi, dll.).


Manfaat pengelolaan EAFM menurut FAO meliputi beberapa hal sebagai berikut:  

  • pertimbangan yang lebih luas dari hubungan antara ekosistem dan perikanan;

  • kontribusi untuk perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih efektif; 

  • memfasilitasi pertukaran kepentingan antara prioritas pemangku yang berbeda; 

  • menyeimbangkan kebutuhan manusia dan ekologi; 

  • peningkatan partisipasi pemangku kepentingan yang mengarah pada: 

    • perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih baik; dan 

    • penggunaan sumber daya alam yang lebih adil (baik yang terkait dengan perikanan maupun non-perikanan); 

  • membantu menyeimbangkan produksi ikan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan habitat; 

  • membantu menyelesaikan atau mengurangi konflik antar pemangku kepentingan;

  • pengakuan yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan tradisional dalam pengambilan keputusan.