Skip to main content

BAB III. Prinsip dan Tahapan EAFM di Perairan Darat

3.1. Prinsip-prinsip EAFM di perairan darat

FAO mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai: “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan Sumber ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. 

Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain: (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar SDI dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya dapat diaplikasikan untuk semua distribusi SDI; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003). Berdasarkan definisi dan prinsip EAF tersebut, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan, namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (Adrianto, 2008).

Sementara itu, Pikitch, et.al (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah proses penyempurnaan pengelolaan perikanan yang dimulai dari sudut pandang kesehatan ekosistem sebagai media penting dari proses keberlanjutan sumber daya ikan sebagai obyek dari pengelolaan perikanan. 

Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas) antara target species sumber daya ikan dengan ekosistem perairan dan segenap unsur terkait di dalamnya. Konektivitas ini tidak hanya dalam perspektif ekologi tapi juga konektivitas antara sistem ekologis dengan sistem sosial sebagai unsur utama dari pengelolaan perikanan seperti yang dinyatakan oleh Hilborn (2010) bahwa “fisheries management is a matter of managing human behavior”. Mengacu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 29 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Bidang Penangkapan Ikan untuk Perairan Darat, maka EAFM di perairan darat dikembangkan secara komprehensif dan holistik meliputi 7 (tujuh) domain perikanan berkelanjutan, yaitu lingkungan sumber daya ikan, teknologi penangkapan, sosial, ekonomi, kelompok jenis ikan yang dikelola, tata kelola, dan pemangku kepentingan.


3.2. Tahapan implementasi EAFM di perairan darat

Konsep pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini sedang mengalami proses transformasi dari pengelolaan yang hanya dilakukan pada sektor hulu menjadi pengelolaan yang menyeluruh (hulu-hilir) secara terintegrasi dan berbasis kewilayahan yang melibatkan multistakeholders. Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang baru, karena sejak tahun 2003, FAO telah memperkenalkan Ecosystem Approach to Fishery Management (EAFM) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. EAFM tidak bermaksud menggantikan secara keseluruhan pola-pola pengelolaan perikanan yang sebelumnya diterapkan, tetapi lebih bersifat penyempurnaan. Mekanisme implementasi EAFM ini bersifat pengelolaan yang bersifat adaptif (adaptive management). Dalam hal ini dari serangkaian praktik pengelolaan yang ada sudah sejalan dengan EAFM, tetapi ada beberapa yang lainnya perlu disempurnakan. Kondisi ini pada setiap kawasan perairan darat berbeda-beda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Garcia dan Cochrane (2005) mendefinisikan EAFM sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi (keuntungan ekonomi, kesejahteraan nelayan, dan keadilan pemanfaatan SDI) dengan tetap mempertimbangkan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan. Hal terpenting dari EAFM adalah menempatkan manusia sebagai pengelola kedalam elemen ekosistem. Implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan SDI. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.


Pada pengelolaan perikanan yang sebelumnya diterapkan, hal tindakan pengelolaan yang diaplikasikan dalam menghadapi permasalahan penurunan populasi ikan, informasi utama hanya berdasarkan kepada instrumen biologis, yaitu ukuran ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity, Lm), tingkat kematangan gonad, dan tinggi badan ikan. Sehingga, tindakan yang diambil adalah menentukan ukuran mata jaring (mesh size) yang diperbolehkan, pengaturan waktu dan tempat penangkapan. Meskipun kebenaran ilmiahnya tidak terbantahkan, seringkali upaya-upaya tersebut sulit bahkan tidak pernah benar-benar dilaksanakan di lapangan dikarenakan tidak mendapat dukungan dari para nelayan. Atau bagaimana pihak perikanan berusaha untuk melakukan perbaikan habitat tetapi tidak pernah melakukan koordinasi dengan pihak lainnya yang sebenarnya juga berkepentingan, misalnya sektor kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, dan sektor-sektor lainnya yang terkait Menghadapi permasalahan yang disajikan di atas, EAFM memperkenalkan pendekatan yang lebih menyeluruh. Instrumen-instrumen biologis dan ekologis tersebut dipadukan dengan elemen sosial kemasyarakatan dan kelembagaan, sehingga para pemangku kepentingan (stakeholders) terinformasikan dengan benar dan dilibatkan secara proporsional, yang didasari oleh peranan dan pengaruhnya terhadap sebuah rencana pengelolaan yang akan diterapkan. Pengelolaan perikanan perairan darat bersifat lebih unik dibandingkan dengan pengelolaan perikanan perairan laut. Sementara kegiatan perikanan tangkap di perairan laut lebih didominasi oleh kegiatan ekonomi yang lebih besar dan sistematis, sehingga armada, alat tangkap, daerah penangkapan, waktu/musim penangkapan, dan hasil tangkapan semuanya didata secara terstruktur termasuk berbagai perizinan usaha yang melekat dengan skala kegiatan. Sebaliknya dengan kegiatan perikanan tangkap di perairan darat yang didominasi oleh kegiatan ekonomi yang bersifat tradisional dan lokalistik, dimana SDI dan lingkungan perairan darat lebih rentan terhadap gangguan. Selain itu, perikanan tangkap di perairan darat sangat terkait dengan ketahanan pangan dan sosiokultural masyarakat sekitarnya. Meskipun demikian, secara prinsip domain-domain yang ada pada EAFM perairan laut dapat diterapkan pula pada EAFM perairan darat, dengan beberapa modifikasi indikator sesuai dengan karakteristik dari perikanan perairan darat itu sendiri. Dengan demikian kondisi terkini dari pelaksanaan EAFM di perairan darat dapat dinilai, sehingga dapat dijadikan dasar bagi upayaupaya perbaikannya.

Sementara itu, perencanaan strategi lebih menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana kebijakan. Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi yang berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional, misalnya pengurangan tangkapan ikan bukan target atau by-catch practices, penanggulangan pencemaran perairan, pengurangan resiko terhadap nelayan dan SDI, penetapan kawasan konservasi atau fish refugia site approach, dan lain sebagainya. Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat pengelolaan input dan output control yang disusun berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri. Secara diagramatik, proses implementasi EAFM di perairan darat dapat dilihat pada Gambar 4.


A picture containing graphical user interface  Description automatically generated
Gambar 4.  SEQ Gambar \* ARABIC 4.Proses Implementasi EAFM di Perairan Darat (MModifikasi dari FAO, 2003)

 Dalam kaitan dengan implementasi EAFM untuk Perairan Darat, peserta diwajibkan untuk memahami keseluruhan modul essential EAFM PD yang terdiri dari tiga modul agar selaras dengan tujuan dari EAFM itu sendiri yaitu untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.