KARAKTERISTIK EKOSISTEM DAS CITANDUY
Citanduy termasuk sungai besar di Jawa yang mempunyai peran penting dalam mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan. Sungai ini membelah empat kabupaten, yakni Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Pangandarandan Cilacap. Hulu sungai ini terletak di antara Gunung Sawal dan kompleks Gunung Galunggung, Gunung Telaga Bodas, Gunung Cakrabuana dan Gunung Sadakeling. Muara sungai ini terletak di Cilacap yang membentuk sebuah delta yang dikenal dengan sebutan ‘Muara Citanduy’. Daerah hilir sungai ini merupakan wilayah ekosistem mangrove yang unik yaitu Segara Anakan. Triyanti et al. (2010), Segara Anakan terletak diantara Pulau Jawa dan Nusakambangan dengan dua outlet, sedangkan inletnya selain Sungai Citanduy adalah Sungai Cibeureum, Cikonde, dan Ujung Alang. Diantara sungai-sungai tersebut yang memainkan peran utama terhadap kondisi ekosistem estuari Segara Anakan adalah Citanduy.
3.1. Hulu DAS Citanduy
DAS Citanduy membentang dari utara ke selatan, yaitu dari deretan G. Cakrabuana (1.721 mdpl) hingga kawasan Segara Anakan. Di bagian barat dibatasi oleh G. Galunggung (2.168 mdpl) dan Telaga Bodas (2.201 mdpl) dan Gunung Sadakeling (1.676 mdpl), di bagian timur terdapat G. Simpang Tiga, sedangkan di bagian tengah DAS terdapat G. Sawal (1.784 mdpl) (Prasetyo, 2004).
DAS bagian hulu berfungsi sebagai kawasan penyangga daerah tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan tutupan lahan pegunungan dengan variasi topografi dengan slope rata-rata 0,035 (curam), dan mempunyai curah hujan yang tinggi. Sub DAS Citanduy yang termasuk dalam DAS bagian hulu yaitu, Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Cijolang. Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi penyangga daerah tengah dan hilir. Daerah Aliran Sungai bagian hulu memiliki ciri topografi yang relatif lebih tinggi berupa daerah pegunungan dengan curah hujan yang tinggi.
Lahan DAS Citanduy Hulu pada tahun 2018 terdiri dari hutan primer 889,64 ha (1,23%), hutan sekunder 4.884,39 ha (6,75%), hutan tanaman sebesar 7.961,94 ha (11,01%), semak belukar 264,18 ha (0,37%), pemukiman sebesar 7.074,13 ha (9,78%), perkebunan sebesar 262,44 ha (0,36%), pertanian lahan kering sebesar 4.727,59 ha (6,54%), pertanian lahan kering campur semak sebesar 27636,38 ha (38,12%), sawah sebesar 18439,67 ha (25,50%), lahan terbuka 10,37 ha (0,01%), badan air sebesar 170,27 ha (0,24%). Lahan hutan yang berupa hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman memiliki luasan 13.735,97 atau 18,99%. Hal ini mengindikasikan kondisi lahan DAS tersebut sudah terganggu kondisi hidrologinya (Rona, 2018). Tutupan lahan di DAS akan mempengaruhi kondisi hidrologi. Sebagai contoh di kawasan Gunung Sawal sudah terdapat alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Lahan pertanian/persawahan di kawasan Gunung Sawal
Salah satu bagian hulu DAS Citanduy adalah Gunung Sawal yang juga ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Gunung Sawal (SMGS) melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 420/Kpts/Um/7/1979 tanggal 4 Juli 1979. Sebagian besar kawasan ini merupakan hutan alam yaitu sekitar 95% dan sisanya merupakan hutan tanaman. Kawasan SM ini merupakan habitat yang baik bagi kehidupan satwa liar. Di kawasan ini terdapat banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Citanduy sehingga berperan penting secara hidrologis maupun sebagai habitat ikan (Gambar 3.2). Haryono (2012) mencatat sebanyak 12 spesies ikan di perairan Kawasan Gunung Sawal.
Gambar 3.2. Sungai Cibaruyan, salah satu anak S. Citanduy di Kawasan Gunung Sawal
Topografi di kawasan ini bergelombang dan berbukit terjal serta bergunung dengan puncak tertinggi pada Gunung Sawal (1.764 m dpl). Kemiringan lereng di bagian tengah antara 20 - 30%. Beberapa lokasi yang mempunyai puncak tinggi berdasarkan lokasinya adalah Gunung Bongkok di Cihaurbeuti (1.400 m dpl), Panumbangan (1.400 m dpl), Panjalu (1.764 m dpl), Cipaku (1.400 m dpl), Sadananya (1.500 m dpl), dan Cikoneng (1.500 m dpl). Di kawasan ini mengalir anak-anak sungai yang bermuara ke Citandui antara lain Sungai Cibaruyan dan Ciharus (Kec. Cihaurbeuti), Cikimul (Kec. Panjalu), Cikupa (Kec. Kawali), Cisepet dan Cibagi (Kec. Cipaku), Cileer (Kec. Sadananya), Cipalih dan Cisendai (Kec. Cikoneng).
Selain Gunung Sawal, bagian DAS Hulu Citanduy yang cukup dikenal adalah Gunung Galunggung yang semula merupakan gunung api aktif dan letusan terkahirnya pada tahun 1982 yang dahsyat selama 9 bulan dengan material vulkanik yang tersebar luas sampai ke Australia. Gunung ini terletak di sebelah barat laut Kota Tasikmalaya, dengan posisi puncaknya pada 108o,04’ BT dan 07o15’ LS. Pada saat ini kawah puncak Gunung Galunggung berubah menjadi badan air berupa danau (Gambar 3.3). Proses terbentuknya danau tersebut berasal dari air hujan dan air meteorik yang berlimpah di sekitar puncak G. Galunggung dan dasar kawah cukup kedap air (Dana, 2010).
Gambar 3.3. Kawah Gunung Galunggung yang berubah menyerupai danau
Di perairan sekitar Gunung Galunggung tercatat sebanyak 18 spesies dan hampir setengahnya merupakan ikan pendatang/introduksi. Adapun di perairan danau yang semula merupakan kawah Gunung Galunggung jenis ikan yang ditemukan adalah Poecillia reticulata dan Xiphophorus helleri (Gambar 3.4). Masyarakat setempat menginformasikan bahwa selain kedua jenis ikan tersebut juga terdapat ikan gabus (Channa striata) dan mas (Cyprinus carpio). Jenis-jenis ikan yang terdapat di kawah tersebut diduga ditebar baik sengaja maupun tidak sengaja (Haryono, 2013).
Gambar 3.4. Jenis ikan yang terdapat di danau kawah Gunung Galunggung
-
Bagian Tengah DAS Citanduy
DAS Citanduy bagian tengah memiliki panjang ± 60 km dengan topografi relatif landai dengan slope rata-rata 0,006 (sedang). Sub DAS Citanduy yang berada pada DAS bagian tengah yaitu, Sub DAS Ciseel dan Sub DAS Cikawung. Secara administratif, wilayah sungai yang termasuk ke bagian tengah adalah Kota Banjar. DAS bagian tengah merupakan daerah peralihan antara hulu dan hilir. Kondisi DAS Citanduy bagian tengah banyak ditemukan daerah permukiman, persawahan, dan lahan pertanian. Oleh karena banyaknya sedimentasi yang terbawa dari bagian hulu maka seringkali warna air Sungai Citanduy menjadi keruh (Gambar 3.5).
Gambar 3.5. Kondisi Sungai Citanduy bagian tengah
Di bagian tengah sering terdampak oleh meluapnya aliran terutama ketika musim penghujan yang berdampak pada naiknya permukaan air dan menimbulkan longsor maupun banjir. Untuk mencegah kejadian tersebut maka dibuat tanggul dibgian tepinya (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. Tanggul di bagian hilir Sungai Citanduy Kota Banjar
-
Bagian Hilir DAS Citanduy
DAS bagian hilir dicirikan dengan topografi landai dengan slope yang landau. Sub DASCitanduy yang berada pada DAS bagian hilir yaitu/ Segara Anakan dan sebagian Sub DAS Ciseel. Secara administratif bagian hilir termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Cilacap dan Pangandaran. Segara Anakan merupakan ekosistem yang spesifik pada bagian hilir DAS Citanduy. Oleh karena itu, DAS Citanduy mempunyai peran yang besar dalam menentukan kelangsungan ekosistem estuari Segara Anakan (Gambar 3.7). Namun, Sungai Citanduy selain mensuplai air tawar juga sekaligus membawa sedimen hasil erosi yang cukup besar dan juga polutan lain yang berasal dari rumah tangga dan pertanian. Minimnya luas hutan dan tingginya pembangunan tanggul-tanggul sepanjang sungai, membuat Citanduy memasok sedimen ke Segara Anakan sehingga luasannya semakin mengecil.
Gambar 3.7. Segara Anakan, bagian hilir dari Sungai Citanduy
Pada tahun 1903 luas Segara Anakan sebesar 6.450 ha, tahun 1992 menjadi 1.800 ha, tahun 2001 seluas 1.200 ha, dan tahun 2006 hanya tersisa 834 ha. Tingginya tingkat sedimentasi pada bagian hilir maka Citanduy menjadi salah satu prioritas pemerintah pusat untuk dikelola agar lebih baik. Segara Anakan Cilacap merupakan ekosistem estuaria yang kaya dengan biota akuatik termasuk ikan di dalamnya. Kondisi lingkungan estuaria sangat mendukung bagi perkembangan ikan karena baik secara fisik-kimiawi perairan maupun sebagai lingkungan kaya sumber pakan alami untuk perkembangan organisme perairan (Suprastini et al., 2014). Adanya tingkat sedimentasi yang tinggi maka mengancam keberadaan ekosistem tersebut. Luasan Segara Anakan terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 1970 sekitar 4.580 hektar, tetapi pada tahun 2002 berkurang menjadi 850 hektar, tahun 2005 menjadi 700 hektar, dan pada tahun 2012 hanya tersisa 600 hektar (Gambar 38).
Gambar 3.8. Kondisi luasan akibat pendangkalan Segara Anakan
Setyoko dan Rosyadi (2009), bahwa kondisi Segara Anakan semakin menurun bukan hanya akibat sedimentasi akan tetapi dibarengi dengan penebangan hutan bakau secara liar oleh masyarakat. Peningkatan tekanan tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di sekitar kawasan Laguna Segara Anakan. Kegiatan pembalakan liar hutan bakau tersebut dilakukan untuk kepentingan pemukiman penduduk, material bahan bangunan, pertanian, pertambakan dan juga bahan bakar industri.
No Comments