Skip to main content

POTENSI DAN STATUS BIODIVERSITAS IKAN

Ikan merupakan sumberdaya perairan yang sudah banyak dikenal dan bahkan melekat dengan kehidupan manusia. Radinger et al. (2019) ikan mempunyai peran penting secara ekonomi, sebagai sumber nutrisi, jasa ekosistem, serta sejarah dan budaya. Secara umum kita mengenal dua kelompok ikan berdasarkan ekosistemnya, yaitu ikan air tawar dan ikan laut. Indonesia mempunyai kekayaan jenis ikan yang tinggi baik ikan laut maupun ikan air tawar dengan jumlah lebih dari 4.700 spesies (Froese & Pauly 2020). Sekitar 40-45% dari jumlah tersebut merupakan ikan yang menghuni perairan darat. Sayangnya kekayaan jenis ikan yang tinggi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, kekayaan jenis ikan tersebut mengalami ancaman yang semakin serius dari berbagai faktor antara lain penangkapan yang berlebih, pencemaran, alih fungsi lahan di sekitar perairan, penggundulan hutan, dan masuknya jenis ikan introduksi yang bersifat invasif.  Hal ini sejalan dengan Radinger et al. (2019) bahwa ikan perairan darat mengalami ancaman dari banyak faktor terutama akibat dari aktivitas manusia (antropogenik). Oleh karena itu tingkat kepunahan ikan perairan darat lebih tinggi dibandingkan hewan terestrial. 

Jenis ikan asing yang bersifat invasif dapat masuk ke perairan darat baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Beberapa jenis ikan tersebut bahkan sudah tersebar luas di perairan darat Indonesia, misalnya red devil (Amphilopus labiatus), sapu-sapu (Pterigoplichthys spp.), bahkan ikan predatorpun sudah ada yang lepas ke perairan darat diantaranya piranha (Pygocentrus nattereri), alligator (Atractosteus spp.), dan arapaima (Arapaima spp.).  Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak dikendalikan maka sangat berpotensi menurunkan populasi ikan asli dan bahkan dapat mengakibatkan kepunahan.  

Belum optimalnya pemanfaatan ikan air tawar asli Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya data/informasi. Hal ini tidak terlepas dari luasnya sebaran perairan darat di Indonesia dengan kondisi habitat yang sangat beragam. Dalam rangka merumuskan kebijakan sektor perikanan berbasis data maka perlu dilakukan pendataan dan kajian/assessment. Lovett et al. (2007) bahwa pendataan atau monitoring sangat diperlukan untuk menyediakan data ilmiah dan informasi untuk kebijakan lingkungan. Melalui monitoring maka dapat diketahui perubahan kekayaan jenis ikan dan statusnya (Counihan et al. 2018; Holmgren et al.  2016).

Kajian terhadap status bidoversitas ikan telah dilakukan di perairan darat wilayah Indonesia khususnya di lokasi yang menjadi kegiatan ‘I-Fish FAO’. Lokasi tersebut meliputi lima wilayah kabupaten yaitu Kampar, Cilacap, Sukabumi, Kapuas, dan Barito Selatan. Dokumen hasil kajian tersebut dibuat per Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Citanduy, Cimandiri, S Serayu, Kampar, dan Barito. Pada dokumen ini lebih dikhususkan pada DAS Citanduy. Aspek yang dikaji mengacu pada Radinger et al. (2019) yaitu mengungkap struktur komunitas atau keragaman jenis ikan pada perairan darat yang menjadi lokasi pengamatan yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan untuk pengelolaannya.

Secara umum ikan dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan habitatnya yaitu ikan laut dan air tawar. Untuk ikan air tawar sendiri dapat dibedakan menjadi tiga divisi berdasarkan tingkat toleransinya terhadap air laut, yaitu 1) Divisi primer yang sama sekali tidak toleran terhadap air laut, 2) Divisi sekunder agak toleran, dan 3) Divisi peripheral yang mempunyai toleransi tinggi terhadap air laut (Kottelat et al., 1993). Dalam kajian di DAS Citanduy sebagian juga termasuk ke dalam kelompok ikan Divisi Sekunder dan Peripheral terutama pada bagian hilir sungai yang terkoneksi langsung dengan laguna Segara Anakan.

Perairan darat yang dikaji menyimpan berbagai biota akuatik termasuk kekayaan jenis ikan yang ada di dalamnya. Secara garis besar perairan darat dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu mengalir dan stagnan. Pada masing-masing tipe mempunyai karakteristik habitat yang spesifik dalam hal parameter fisika dan kimianya. Hal ini akan berdampak pada biodiversitas ikan yang ada di dalamnya. Sebagai contoh pada perairan mengalir (sungai) akan memiliki kekayaan jenis ikan yang relatif rendah di kawasan hulu dan akan semakin meningkat ke bagian hilir/muara (Kottelat et al. 1993). Pada perairan hulu mempunyai karakteristik dengan arus yang kuat sehingga ikan yang ada di dalamnya harus mengadaptasikan melalui bentuk tubuh yang stremaline atau dengan alat perekat. Ikan semah yang banyak ditemukan di perairan kawasan pegunungan mempunyai bentuk tubuh yang streamline (Kiat 2004; Haryono dan Rahardjo 2009). Begitu pula dengan ikan kehkel (Glyptothorax spp.) yang dilengkapi dengan alat penempel. Menurut Brinsmead et al. (2002) dan Neat et al. (2003) bahwa kecepatan arus, faktor fisikia dan kimia berpengaruh terhadap bentuk tubuh ikan. Adapun untuk jenis-jenis ikan yang hidup di perairan yang bervegetasi akan memiliki bentuk tubuh yang pipih, misalnya gurami (Osphronemus goramy) dan sepat rawa (Trichopodus trichopterus). 

Pada kajian status biodiversitas ikan di perairan darat DAS Citanduy dilakukan pula terhadap kondisi habitatnya baik yang berupa sungai, danau, waduk, dan rawa. Jenis-jenis ikan yang menghuni di DAS Citanduy tercatat sebanyak 92 spesies dan 41 famili. Cyprinidae merupakan famili yang  paling dominan dengan 11 spesies, diikuti Cichlidae dengan 8 spesies, dan Gobiidae 7 spesies (Gambar 4.1). 

Gambar 4.1. Jumlah spesies pada famili predominan di DAS Citanduy


Distribusi ikan pada perairan sungai yang besar secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagin hilir. Hal ini berkaitan dengan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan perairan di ketiga bagian tersebut. Kottelat et al. (1996), bahwa pada umumnya tingkat biodiversitas ikan akan mengalami kenaikan mulai dari bagian hulu ke bagian hilir. Secara administratif pada DAS Citanduy untuk bagian hulu meliputi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, bagian hilir terdapat di Kota Banjar, sedangkan bagian hilir meliputi Kabupaten Cilacap dan Pangandaran. 


Bagian Hulu: Jenis-jenis ikan yang dijumpai bagian hulu DAS Citanduy tercatat sebanyak 21 jenis (Lampiran 1). Jenis ikan yang dimaksud antara lain Anguilla marmorata, Channa gachua, Barbonymus balleroides, B. gonionotus, Hampala macrolepidota, Barbodes binotatus, Labiobarbus leptocheilus, L. kuhlii, Osteochilus vittatus, O. microcephalus, Systomus orphoides, S. rubripinnis, Mystacoleucus marginatus, Nemacheilus fasciatus, Rasbora lateristriata, Xiphophorus helleri, Hemibagrus nemurus, Glyptothorax major, dan Monopterus albus.


Bagian Tengah: Jenis-jenis ikan yang dijumpai pada bagian tengah DAS Citanduy sebanyak 39 jenis dan sebagian dari jenis ikan tersebut sebarannya juga sampai di bagian hulu (Lampiran 1). Jenis-jenis ikan di bagian tengah antara lain Anguilla bicolor, A. marmorata, Trichopodus trichopterus, Channa gachua, C. striata, Colossoma macropomum , Barbonymus balleroides, B. gonionotus, Hampala macrolepidota, Barbodes binotatus, Labiobarbus leptocheilus, L. kuhlii, Osteochilus vittatus, O. microcephalus, Systomus orphoides, S. rubripinnis, Mystacoleucus marginatus, Nemacheilus fasciatus, Rasbora lateristriata, Xiphophorus helleri, Sillago sihama, Glossogobius gobius, Oreochromis mossambicus, Oreochromis niloticus , Oreochromis sp., Aequidens pulcher, Amphilophus citrinellus, Amphilophus labiatus, Andinoacara rivulatus, Mayaheros urophthalmus, Mystus gulio, Mystus nigriceps, Clarias batrachus, Hemibagrus nemurus, Glyptothorax major, Pterygoplichthys pardalis dan Monopterus albus.


Bagian Hilir: Jenis-jenis ikan yang dijumpai pada bagian hilir DAS Citanduy sebanyak 62 jenis dan beberapa dari jenis ikan tersebut sebarannya juga sampai di bagian tengah (Lampiran 1). Jenis-jenis ikan di bagian hilir antara lain Anguilla bicolor, A. marmorata, Moringua javanica, Muraenichthys gymnopterus, Scatophagus argus, Leioghnatus equula, Deveximentum interruptum, Equulites leuciscus, Eubleekeria splendens, Gaza minuta, Siganus vermiculatus, Channa striata, Tylosurus crocodilus, Zenarchopterus buffonis, Caranx ignobilis, Caranx sexfasciatus, Terapon jarbua, Stolephorus indicus, dan jenis ikan lainnya. 

Berdasarkan distribusi tersebut ternyata hanya terdapat dua jenis ikan yang mempunyai sebaran luas dari hulu sampai hilir yaitu Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata; sedangkan jenis-jenis ikan lainnya distribusinya ada yang terdapat di bagian hulu sampai tengah atau tengah sampai hilir. Jika dilihat berdasarkan jumlah jenis ikan berdasarkan bagian DAS maka tampak bahwa pada bagian hulu paling sedikit dan meningkat ke arah hilir. Pola distribusi seperti halnya yang dijelaskan oleh Kottelat et al. (1996). Pada bagian hilir paling tinggi biodiversitasnya dikarenakan lebar sungainya paling tinggi dengan beragam tipe habitat, serta terdapat jenis-jenis ikan yang bersifat sekunder maupun peripheral. Jumlah jenis ikan pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Jumlah jenis ikan pada masing-masing bagian


Hasil kajian terhadap jenis-jenis ikan di DAS Citanduy yang mempunyai nilai ekonomis penting tercatat sebanyak 16 spesies atau sebesar 17,39% dari jumlah ikan keseluruhan. Kategori ikan ekonomis penting ini didasarkan pada jumlah permintaan dan harga dari jenis ikan tersebut yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainya. Oleh karena itu bukan hanya jenis ikan asli akan tetapi adapula jenis ikan pendatang atau introduksi. Jenis ikan yang dimaksud antara lain sidat (Anguilla bicolor), pelus (A. marmorata), betok (Anabas testudineus),  gurami (Osphronemus goramy), gabus (Channa striata), bawal air tawar (Colossoma macropomum), tawes (Barbonymus gonionotus), brek (B. balleroides), nilem (Osteochilus vittatus), bandeng (Chanos chanos), nila (Oreochromis mossambicus), mujair (O. niloticus), baung (Hemibagrus nemurus), lele local (Clarias btarachus), dan lele dumbo (C. gariepinus). 

Diantara jenis ikan tersebut yang sangat popular dan sudah dapat dibudidayakan antara lain gurami, bawal air tawar, tawes, nilem, dan lele dumbo. Selain itu terdapat jenis ikan yang baru dapat dilakukan budidaya hanya tahap pembesaran (ranching) yaitu sidat dan pelus. Beberapa jenis baru dilakukan pada tahap domestikasi akan tetapi belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat, yaitu betok, gabus, baung, dan bandeng.

Berdasarkan potensinya, hampir semua jenis ikan yang tercatat pada kajian ini mempunyai nilai  ekonomis hanya saja harga dan jumlahnya sangat fluktuatif tergantung hasil tangkapan sehingga belum dimasukkan ke dalam kategori ikan ekonomis penting. Padahal jenis ikan yang termasuk ke dalam kategori ini justru jumlahnya lebih banyak.

Sidat dan pelus:  Keduanya merupakan ikan katadromus yang hidupnya mencakup dua ekosistem, yaitu ketika kecil sampai besar merupakan penghuni perairan darat akan tetapi ketika akan memijah beruaya menuju ke alut dalam. Kedua jenis ikan tersebut mempunyai nilei ekonomis yang tinggi dengan harga ikan ukuran konsumsi di atas Rp. 150.000 per kiologramnya. Ikan yang diperdagangkan dapat berasal dari hasil tangkapan di alam maupun hasil ranching. Pangsa pasarnya lebih banyak untuk diekspor terutama ke Jepang, Amerika dan Eropa. Tingginya harga kedua jenis ikan tersebut karena mempunyai nilai gizi yang tinggi. Kedua jenis ikan tersebut lebih banyak ditemukan di bagian hilir DAS Citanduy pada berbagai stadia. Nelayan setempat dalam menangkap kedua jenis ikan tersebut banyak yang menggunakan perangkap/bubu (Gambar 4.3.). Selain itu, menggunakan pancing terutama untuk menangkap sidat stadia dewasa.

Gambar 4.3. Bubu alat tangkap sidat (kiri); dan sisat hasil tangkapan di alam (kanan)

Gurami: Jenis ikan ini lebih banyak ditemukan pada kolam budidaya, sedangkan di DAS Citanduy ditemukan pada bagian tengah dan hulu karena termasuk ikan air tawar divisi primer (tidak toleran terhadap air asin), serta umumnya karena lepas dari wadah budidaya. Ikan gurami merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang banyak digemari oleh masyarakat dengan harga yang termasuk tinggi dan stabil.  Oleh karena itu kgeiatan budidayanya cukup intensif dengan segmentasi yang sudah cukup mapan mulai dari telur, larva, benih hasil pendederan, dan ukuran konsumsi. Bentuk tubuhnya pipih membulat dengan ciri utama mempunyai sirip dada memanjang yang membentuk filamen (Gambar 4.4.).

Gambar 4.4. Osphronemus goramy, ikan konsumsi yang sangat popular 

(Sumber foto: www.Fihbase.org)

 Gabus: Kerabat ikan gabus di Indonesia cukup beregam dengan jumlah mencapai 10 spesies. Namun spesies yang banyak diburu untuk dikonsumsi adalah Channa striata karena memiliki kandungan albumin yang relating tinggi dibandingkan kerabatnya. Untuk memenuhi permintaan yang tinggi masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Upaya domestikasi terhadap jenis ikan ini sudah dilakukan hanya hasilnya belum optimal untuk kegiatan budidayanya. Spesies Channa striata memiliki bentuk tubuh yang agak slindrsi dengan corak/pola warna seperti ‘<’ pada permukaan tubuhnya (Gambar 4.4). 

Gambar 4.5. Ikan gabus (Channa striata) hasil tangkapan dari alam

Nilem: Jenis ikan ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat dan mempunyai sebaran yang luas terutama di perairan darat Paparan Sunda yang meliputi Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Ikan nilem sebenarnya sudah dapat dibudidayakan/dikembangbiakan oleh para petani ikan hanya saja kegiatan budidayanya kurang berkembang. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh harganya yang tidak setinggi jenis ikan budidaya lainnya. Padahal selain dagingnya, ikan nilem juga menghasilkan telur yang lezat untuk dinikmati. Bahkan pada stadia anakan juga sudah dikembangkan olahannya yang digoreng kering sehingga renyah dengan sebutan ‘baby fish’. Ikan nilem masih banyak dimanfaatnkan dari hasil tangkapan di alam. Jenis ikan ini dicirikan oleh bentuk tubuh yang pipih dengan sirip punggung yang relatif panjang, terdapat bercak hitam pada pangkal ekor, dan sisik perak dengan beberapa bintik merah (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Ikan nilem (Osteochilus vittatus)

Kategori terancam punah dalam kajian ini mengacu pada ketentuan yang terdapat pada laman IUCN (International Union for Conservation of Nature) yaitu Lembaga internasional yang terkait dengan konservasi alam. Hasil kajian terdapat tiga spesies yang sudah memerlukan perhatian khusus dengan kategori mendekati terancam (NT) yaitu sidat (Anguilla bicolor), sedangkan dua spesies kategori rawan punah (VU) yaitu mujair (Oreochromis mossambicus) dan paray (Rasbora lateristriata) (Gambar 4.7). Namun jika diperhatikan status populasi dari ketiga spesies tersebut yang terdapat di Citanduy belum mengkhawatirkan dan masih cukup aman untuk dimanfaatkan. Bahkan untuk ikan mujair akan lebih baik ditekan populasinya karena termasuk jenis ikan introduksi. 


Gambar 4.7. Jenis-jenis ikan terancam punah di DAS Citanduy: mujair, paray, dan sidat


Regulasi terkait perlindungan jenis ikan yang terbaru adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang jenis ikan dilindungi. Selain itu terdapat beberapa regulasi yang mengatur perlindungan terbatas terhadap jenis ikan tertentu, saalah satunya adalah Keputusan Menteri Kalutan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Perlindungan terbatas ikan sidat (Anguilla spp.). Berdasarkan hasil kajian biodiversitas ikan di DAS Citanduy maka jenis ikan yang dilindungi secara terbatas yaitu ikan sidat (Anguilla bicolor) dan pelus (Anguilla marmorata).  Ketentuan perlindungan terbatas terhadap ikan sidat pada regulasi tersebut sebagai berikut:

  • benih semua spesies Ikan Sidat (Anguilla spp.) pada stadium glass eel tidak boleh ditangkap setiap bulan gelap tanggal 27-28 Hijriah; 

  • Anguilla bicolor dan Anguilla interioris dewasa dengan berat diatas dua kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu; dan 

  • Anguilla marmorata dan Anguilla celebesensis dewasa, dengan berat diatas lima kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu

Berdasarkan hasil kajian di DAS Citanduy tidak ditemukan jenis ikan yang dilindungi secara penuh. Selain itu tidak ada satupun jenis ikan yang diatur/masuk ke dalam appendiks CITES. Dengan demikian secara umum pemanfaatan terhadap jenis ikan di DAS Citanduy masih relative aman selama memperhatian azas kelestarian dan diantaranya tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti setrum dan racun.


Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap komuniutas ikan yang ada di dalamnya. Masing-masing jenis ikan tersebut mempunyai kepekaan dan kemampuan toleransi yang bervariasi terhadap kondisi lingkungannya. Oleh karena itu beberapa jenis ikan dapat dijadikan sebagai indicator dari kondisi perairan yang menjadi habitatnya (bioindicator). Jia dan Chen (2013), ikan dapat dijadikan sebagai bioindikator yang terbaik karena sebarannya luas, mudah diidentfikasi, dan memberikan respon yang secara terintegrasi. Jenis ikan yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi dapat dijadikan untuk kondisi lingkungan yang memburuk, sebagai contoh ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) dan ikan seribu (Poecillia reticulata) (Gambar 4.8). Bila kedua jenis ikan tersebut sangat melimpah dan jenis ikan lainnya sangat minim maka ditengarai bahwa perairan tersebut kondisinya buruk. 


Gambar 4.8. Ikan sapu-sapu dan ikan seribu


Sebaliknya, terdapat pula jenis ikan yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa perairan tersebut masih baik, sebagai contoh adalah anggota famili Cyprinidae. Hasil kajian di DAS Citanduy terdapat jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai bioindicator untuk kondisi lingkungan yang masih baik, diantaranya adalah ikan hampal, Hampala macrolepidota (Gambar 4.9). Jenis ikan ini merupakan anggota Famili Cyprinidae yang biasanya hidup pada perairan dengan kandungan oksigen yang tinggi, jernih, dan belum tercemar, serta termasuk ikan predator. 


Gambar 4.9. Ikan hampal (Hampala macrolepidota) sebagai bioindicator lingkungan perairan yang masih baik


Introduksi ikan adalah suatu kegiatan manusia melepaskan atau memasukkan suatu spesies ikan baru yang sebelumnya tidak ada ke dalam suatu perairan. Tujuan introduksi suatu jenis ikan antara lain: meningkatkan produktivitas perikanan di suatu perairan, mengembangkan jenis ikan yang lebih disenangi/disukai dalam perikanan untuk konsumsi atau pemancingan, mengisi relung yang kosong, mengendalikan hama atau gulma (pengendalian biologis) dan ketidak sengajaan. Meskipun introduksi dapat memberikan hasil baik sesuai dengan tujuan introduksi, pada sisi lain masih terjadi bahwa masuknya jenis ikan baru mengganggu komunitas ikan asli yang ada. Hasil kajian terhadap jenis ikan introduksi di DAS Citanduy tercatat sebanyak 10 spesies yaitu bawal air tawar (Colossoma macropomum), cendol/mirid (Xiphophorus helleri), mujair (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), nila merah (Oreochromis sp.), kamilatun (Aequidens pulcher), red devil (Amphilophus citrinellus), golsom (Andinoacara rivulatus), golsom (Mayaheros urophthalmus), dan lele dumbo (Clarias gariepinus).

Selain jenis introduksi, hasil kajian juga mencatat sebanyak tiga spesies dari DAS Citanduy merupakan ikan invasive yaitu red devil (Amphilophus labiatus), ikan seribu (Poecilia reticulata), dan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis). Ketiga jenis ikan tersebut bukan hanya ditemukan di DAS Citanduy akan tetapi juga melimpah di perairan darat dari Aceh sampai Papua. Hal ini tentunya perlu menjadi bahan pertimbangan Ketika merumuskan kebijakan pengelolaan pada perairan darat yang sudah ditemukan ketiga jenis ikan tersebut. Masuknya jenis ikan invasif ke suatu perairan akan merugikan baik secara ekonomi maupun ekologi.  Wargasasmita (2005), bahwa masuknya jenis ikan asing yang bersifat invasif ke perairan umum merupakan salah satu faktor utama yang mengancam kelestarian jenis ikan asli. Jenis ikan yang dimaksud antara lain sapu-sapu (Pterygolpichthys spp.) dan red evil (Amphilophus spp.) yang mudah ditemukan di berbagai perairan di wilayah Indonesia. Selain itu ada beberapa kasus lepasnya jenis ikan yang bersifat invasif ke perairan darat seperti piranha (Pygocentrus nattereri) dan arapaima (Arapaima gigas). Keberadaan jenis ikan asing invasif di Indonesia telah dilaporkan, diantaranya di Danau Laut Tawar (Muchlisin dkk., 2009), Waduk Cirata (Umar et al., 2015), Waduk Sermo (Fatma, 2017; Ariasari et al., 2018; Habibie et al. 2018), perairan kawasan Gunung Galunggung (Haryono dan Wahyudewantoro, 2020), dan Danau Sentani Papua (Ohee et al., 2021). Selain itu juga sudah banyak ditemukan di Danau Purba Sulawesi (Danau Poso dan Malili) yang merupakan habitat beberapa jenis ikan endemik dengan status terancam punah (Wowor: Komunikasi Pribadi).

Ancaman jenis ikan invasif terhadap komunitas ikan asli berkaitan dengan predasi, kompetisi, hibridisasi, modifikasi habitat, dan penyakit (Gozlan et al., 2010). Dengan demikian sangat mengkhawatirkan terhadap kelestarian ikan asli. Hal ini disebabkan jumlah jenis ikan asing yang masuk ke dalam wilayah Indonesia mencapai ratusan jenis dan beberapa diantaranya mempunyai karakter yang cenderung bersifat invasif. Jenis-jenis tersebut didatangkan dengan tujuan beragam. Gozlan et al. (2008), menyebutkan bahwa tujuan dari introduksi jenis asing sebagian besar adalah untuk budidaya ikan konsumsi yang mencapai 51%, diikuti ikan hias 21%, pemancingan 12%, dan perikanan lainnya 7%. Secara umum masuknya jenis ikan invasif ke perairan darat akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan jenis ikan asli (Wargasasmita, 2005; Gozlan et al., 2010). Oleh karena itu pemasukan jenis ikan asing ke dalam wilayah Repurblik Indonesia tidak boleh dilakukan tanpa didahulu dengan analisis risiko untuk mengkaji terhadap dampaknya. 


Spesies target dari project IFish FAO meliputi ikan belida (Notopterus notopterusChitala lopis, C. borneensis, dan C. hypselonotus), arwana (Scleropages formosus dan S. jardini), dan sidat (Anguilla spp.). Hasil kajian terhadap spesies target tersebut untuk DAS Citanduy hanya terdapat ikan sidat dengan spesies yang sudah banyak dimanfaatkan adalah Anguilla bicolor dan A. marmorata. Selain kedua spesies tersebut, di DAS Citanduy kemungkinan juga terdapat spesies A. nebulosa akan tetapi  masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Morfologi atau penampakan luar ikan sidat dewasa memiliki kemiripan dengan belut, namun sidat memiliki sirip pectoral (sirip dada) yang terletak tepat di belakang kepala dan menyerupai daun telinga sehingga ada yang menyebutnya belut bertelinga. Pola warna ikan sidat dewasa sangat bervariasi tergantung spesiesnya ada yang coklat, hitam, dan belang. Sidat tidak memiliki sirip ventral, sedangkan sirip dorsal, anal, dan caudalnya menyatu. Ciri lainnya yaitu mata sidat tertutup oleh kulit, terdapat lubang hidung yang dilengkapi tonjolan seperti pipa di bagian muka. Morfologi sidat dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Morfologi ikan sidat (Anguilla spp.)


Ikan sidat merupakan komoditas perikanan komersial dengan harga jual dan tingkat konsumsi yang cukup tinggi dengan Jepang sebagai negara tujuan pemasaran utama (Affandi dan Suhenda, 2003). Tingkat konsumsi sidat Jepang mencapai 100.000 ton/tahun sedangkan Taiwan berkisar 52.000 ton/tahun (Restu, 2006). Kebutuhan sidat di pasar internasional tidak hanya sidat ukuran konsumsi, namun juga sidat dalam bentuk benih yang akan dibesarkan dalam budidaya sidat. Beberapa negara yang saat ini membutuhkan benih sidat untuk dibudidayakan antara lain adalah Jepang, Taiwan, Tiongkok, dan Korea Selatan.  Anguilla spp. atau yang lebih dikenal dengan ikan sidat ( lubang (Jabar), pelung(Jateng), masapi (Sulteng)) merupakan salah satu sumberdaya perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan secara ekonomi.

Ikan sidat umumnya tersebar di perairan-perairan sungai yang mengalir ke samudera dan laut dalam serta wilayah-wilayah perairan lainnya, seperti danau-danau yang terhubung dengan sungai-sungai tersebut. Keragaman ikan sidat di dunia tercatat sebanyak 19 spesies/subspecies. Sepuluh spesies/subspesies diantaranya terdapat di perairan Indonesia, yaitu Anguilla bicolor bicolor, A.bicolor pacifica, A. nebulosa nebulosa, A. interioris, A. borneensis, A. celebesensis, A. marmorata, A. obscura, A. interioris dan A. megastoma (Sugeha & Suharti 2008; Fahmi, 2015; Arai et.al. 2016). Daerah sebaran ikan sidat di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Delsman 1929 in Tesch et al. 2003), Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (Fahmi, 2015). Dearah sebaran dari jenis-jenis sidat tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.11.


Gambar 4.10. Peta sebaran potensi sidat di Indonesia (Sugeha et al (2008c))


Beberapa jenis mempunyai sebaran lebih luas dibanding dengan jenis lainnya. Pada wilayah perairan yang berhubungan dengan Samudera Hindia, seperti pantai selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatera, cenderung didominasi oleh sidat dari spesies A. bicolor sementara pada wilayah perairan Sulawesi didominasi spesies A. marmorata. Pemanfaatan sidat sampai saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Pemenuhan permintaan ikan sidat masih berasal dari kegiatan budidaya pembesaran yang benihnya diperoleh dari alam (Widyasari 2013). Tingginya pemanfaatan benih untuk kegiatan budidaya tersebut menyebabkan terjadinya penurunan populasi benih ikan sidat di alam (ICES 2011; Arai 2014). Penangkapan benih yang terus menerus dari alam menyebabkan terjadinya penurunan populasi yang drastis di beberapa negara (Arai 2014; 2016). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pelestarian sidat yang dapat dilakukan melalui perlindungan habitat, pemulihan populasi, pembatasan dan pengendalian penangkapan sangat penting untuk dilakukan (Affandi 2015). Keberadaan sidat pada DAS Citanduy juga sudah mendesak untuk dilakukan pengelolaan dengan baik mengingat ancamannya juga semakin meningkat baik dari aktivitas penangkapan maupun kerusakan habitatnya. Sebagai contoh adalah pendangkalan yang terus berlangsung akibat sedimentasi yang masuk dari Sungai Citanduy.