2.1. Ikhtisar Proses EAFM di Perairan Darat
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai: “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries.” Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik, dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain: (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antara sumber daya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumber daya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; dan (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia.
Berdasarkan definisi dan prinsip EAF tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini setidaknya menyangkut perubahan kerangka berpikir bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan, tetapi juga lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (Adrianto, 2008).
Sementara itu, Pikitch et.al (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah proses penyempurnaan pengelolaan perikanan yang dimulai dari sudut pandang kesehatan ekosistem sebagai media penting dari proses keberlanjutan sumber daya ikan sebagai objek dari pengelolaan perikanan. Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas) antara target spesies sumber daya ikan dengan ekosistem perairan dan segenap unsur terkait di dalamnya. Konektivitas ini tidak hanya dalam perspektif ekologi, tapi juga konektivitas antara sistem ekologis dengan sistem sosial sebagai unsur utama dari pengelolaan perikanan seperti yang dinyatakan oleh Hilborn (2010) bahwa “fisheries management is a matter of managing human behavior”. Mengacu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 29 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Bidang Penangkapan Ikan untuk Perairan Darat, maka EAFM di perairan darat dikembangkan secara komprehensif dan holistik meliputi 7 (tujuh) domain perikanan berkelanjutan, yaitu lingkungan Sumber Daya Ikan, teknologi penangkapan, sosial, ekonomi, kelompok jenis ikan yang dikelola, tata kelola, dan pemangku kepentingan.
Konsep pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini sedang mengalami proses transformasi dari yang bersifat konvensional menjadi pengelolaan dengan pendekatan ekosistem. Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang baru, karena sejak tahun 2001, FAO telah memperkenalkan Ecosystem Approach to Fishery Management (EAFM) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. EAFM tidak bermaksud menggantikan secara keseluruhan pola-pola pengelolaan konvensional, tetapi lebih bersifat penyempurnaan. Mekanisme implementasi EAFM ini bersifat pengelolaan yang bersifat adaptif (adaptive management). Dalam hal ini dari serangkaian praktik pengelolaan yang ada sudah sejalan dengan EAFM, tetapi ada beberapa yang lainnya perlu disempurnakan. Kondisi ini pada setiap kawasan perairan darat berbeda-beda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.
Garcia dan Cochrane (2005) mendefinisikan EAFM sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi (keuntungan ekonomi, kesejahteraan nelayan, dan keadilan pemanfaatan sumber daya ikan) dengan tetap mempertimbangkan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan. Hal terpenting yang membedakan antara manajemen konvensional dengan EAFM adalah menempatkan manusia sebagai pengelola ke dalam elemen ekosistem. Sama dengan pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro yang menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumber daya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.
Pada manajemen perikanan secara konvensional, hal tindakan pengelolaan yang diaplikasikan dalam menghadapi permasalahan penurunan populasi ikan, informasi utama hanya berdasarkan kepada instrumen biologis, yaitu ukuran ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity, Lm), tingkat kematangan gonad, dan tinggi badan ikan. Sehingga, tindakan yang diambil adalah menentukan ukuran mata jaring (mesh size) yang diperbolehkan, serta pengaturan waktu dan tempat penangkapan. Meskipun kebenaran ilmiahnya tidak terbantahkan, sering kali upaya-upaya tersebut sulit, bahkan tidak pernah benar-benar dilaksanakan di lapangan. Hal ini dikarenakan tidak adanya dukungan dari para nelayan. Atau bagaimana pihak perikanan berusaha untuk melakukan perbaikan habitat, tetapi tidak pernah melakukan koordinasi dengan pihak lainnya yang sebenarnya juga berkepentingan, misalnya sektor kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, dan sektor-sektor lainnya yang terkait.
Menghadapi permasalahan yang disajikan di atas, EAFM memperkenalkan pendekatan yang lebih holistik. Instrumen-instrumen biologis dan ekologis tersebut disatupadukan dengan elemen sosial kemasyarakatan dan kelembagaan sehingga para pemangku kepentingan (stakeholders) terinformasikan dengan benar, dilibatkan secara proporsional, yang didasari oleh peranan, dan pengaruhnya terhadap sebuah rencana pengelolaan yang akan diterapkan. Siklus EAFM terdiri dari tiga tahap utama: perencanaan, melakukan, memeriksa dan memperbaiki. Ketiga tahap diterjemahkan ke dalam lima langkah utama untuk EAFM, seperti diuraikan pada Gambar 1 dan Tabel 1 di bawah ini. Dalam tabel, langkah-langkah perencanaan yang diarsir abu-abu.
MULAI |
Persiapan pokok |
Melibatkan Stakeholder |
LANGKAH 1 |
Identifikasi Unit Pengelolaan Perikanan (UPP) |
1.1 mengidentifikasi ekosistem (kedudukan dan status) 1.2 mengidentifikasi potensi dan prioritas 1.3 mengidentifikasi status pemanfaatan 1.4 menyepakati visi UPP |
LANGKAH 2 |
Identifikasi ancaman, isu, dan tujuan |
2.1 mengidentifikasi ancaman, isu, dan tujuan 2.2 menyusun skala prioritas ancaman, isu, dan tujuan 2.3 cek realitas I |
LANGKAH 3 |
Menyusun rencana EAFM
|
3.1 Membangun indikator dan tolok ukur 3.2 menyepakati tindakan manajemen dan kepatuhan 3.3 menyusun rencana pembiayaan 3.4 menetapkan rencana EAFM |
LANGKAH 4 |
Melaksanakan rencana EAFM
|
4.1 menetapkan, menyosialisasikan, dan melaksanakan rencana EAFM 4.2 cek realitas II |
LANGKAH 5 |
Monitoring, Evaluasi, dan Revisi |
5.1 memantau dan mengevaluasi kinerja tindakan pengelolaan 5.2 meninjau kembali dan/atau merevisi rencana EAFM |
Langkah 1 – Identifikasi Unit Manajemen Perikanan
- Mengidentifikasi Unit Pengelola Perikanan (UPP): mengidentifikasi UPP di perairan darat akan didasarkan pada tipologi ekosistem yang menjadi daerah penangkapan ikan dari suatu sistem DAS. Namun, ekosistem yang tidak entitas dapat didefinisikan dengan jelas dengan batas-batas administratif yang jelas.
- Mengidentifikasi potensi dan prioritasi: potensi yang dimiliki suatu UPP harus diketahui, sekurang-kurangnya meliputi potensi sumber daya ikan, potensi lingkungan perairan, potensi SDM, potensi teknologi, dan potensi ekonomi.
- Mengidentifikasi status pemanfaatan: untuk mengidentifikasi status pemanfaatan di UPP diperlukan data kuantitatif dan/atau kualitatif, baik data primer maupun data sekunder. Data yang dibutuhkan sekurang-kurangnya meliputi aspek lingkungan, biologi, sosial dan ekonomi.
- Menyepakati visi UPP: Visi adalah pernyataan jangka panjang yang mengakomodasi seluruh aspirasi para pemangku kepentingan terkait. Menyepakati visi UPP berguna sebagai rujukan utama dalam merumuskan rencana EAFM.
Langkah 2 - Identifikasi Ancaman, Isu, dan Tujuan
- Mengidentifikasi ancaman, isu dan tujuan: ancaman yang terkait dengan perikanan dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal. Ancaman internal berasal dari kegiatan perikanan, sedangkan ancaman eksternal berasal dari kegiatan non-perikanan, seperti kegiatan pertambangan, kegiatan pertanian, kegiatan pariwisata, dan lain-lain. Adapun isu mencakup tiga komponen (ekologi; sosial-ekonomi, dan tata kelola).
- Menetapkan skala prioritas ancaman, isu, tujuan: mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, banyaknya ancaman dan isu yang ada harus diprioritaskan untuk dapat dituangkan dalam menentukan tujuan EAFM. Alat penilaian risiko yang tersedia untuk membantu memprioritaskan ancaman dan isu yang diidentifikasi, sehingga dapat menentukan mana ancaman dan isu yang menjadi prioritas tinggi.
- Cek realitas I: Pertimbangkan kendala dan peluang untuk mencapai tujuan EAFM, untuk menganalisis apakah tujuan yang benar-benar dapat dicapai.
Langkah 3 - Menyusun Rencana EAFM
- Menetapkan tujuan EAFM: tujuan ditentukan dalam kerangka untuk mencapai visi UPP dan mengatasi ancaman dan isu prioritas. Tujuan EAFM dapat diwujudkan melalui tindakan/aksi pengelolaan.
- Membangun indikator dan tolok ukur: untuk mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan EAFM, perlu disepakati indikator dan tolok ukur untuk masing-masing tujuan yang telah ditetapkan.
- Menyepakati tindakan manajemen dan kepatuhan: perlu disepakati tindakan/aksi pengelolaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan EAFM. Dalam beberapa kasus, tindakan/aksi pengelolaan yang sama dapat dilaksanakan untuk mencapai beberapa tujuan. Tindakan/aksi pengelolaan harus disertai dengan deskripsi tentang bagaimana tindakan tersebut akan dipatuhi, dengan memasukkan tindakan untuk menegakkan dan menghasilkan kepatuhan. Secara kolektif, tujuan, indikator, tolok ukur, dan tindakan/aksi pengelolaan, menyediakan sarana untuk berkomunikasi dengan pengambil keputusan tentang seberapa baik kinerja manajemen yang akan memengaruhi perubahan manajemen di masa mendatang. Jika memungkinkan, tindakan/aksi pengelolaan yang bersifat khusus juga harus disertai dengan aturan keputusan tentang bagaimana penerapannya, dan apa yang harus dilakukan jika tidak berhasil. Kuncinya adalah mencoba dan setuju tentang apa yang mungkin terjadi dan bagaimana mengatasi hal ini sebelum itu terjadi.
- Menyusun rencana EAFM dan kebutuhan pembiayaan: diperlukan biaya untuk melaksanakan tindakan/aksi pengelolaan yang diperlukan. Sumber pembiayaan dapat berasal dari dana pemerintah pusat/daerah, atau pemangku kepentingan terkait lainnya, termasuk pinjaman/hibah luar negeri. Rencana pembiayaan disusun seefisien dan seefektif mungkin, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Menetapkan rencana EAFM: untuk memastikan rencana EAFM dilaksanakan oleh seluruh stakeholders, maka perlu untuk ditetapkan melalui aturan resmi, sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengalokasian anggaran untuk melaksanakan setiap tindakan/aksi pengelolaan yang diperlukan.
Langkah 4 - Melaksanakan Rencana EAFM
- Penetapan, sosialisasi, dan partisipasi aktif: rencana EAFM mencantumkan penanggung jawab dan pelaksana tindakan/aksi pengelolaan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya, serta target waktu pelaksanaan dan penyelesaian. Rencana EAFM perlu diformalkan sehingga memiliki kekuatan hukum dalam pemberian kewenangan dan dukungan. Rencana EAFM yang sudah ditetapkan harus disosialisasikan sebagai salah satu strategi komunikasi kepada pemangku kepentingan yang berbeda. Penerapan co-management dalam melaksanakan rencana EAFM yang telah ditetapkan sangat diperlukan, sehingga para pemangku kepentingan yang terlibat secara aktif berkontribusi dan bekerja sama untuk melaksanakan tindakan/aksi pengelolaan yang diperlukan. Sebuah kelembagaan pengelolaan perlu dibentuk sebagai wadah koordinasi, harmonisasi, dan sinergi pengelolaan bersama.
- Cek realitas II: Pertimbangkan kendala dan peluang untuk mencapai target realisasi rencana EAFM, untuk menganalisis apakah rencana EAFM dapat dicapai.
Langkah 5 - Monitoring, evaluasi, dan revisi
- Monitoring dan evaluasi kinerja: Monitoring dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan tindakan/aksi pengelolaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan untuk mengambil tindakan perbaikan jika diperlukan ( adaptive management). Satu set indikator dan tolok ukur diidentifikasi dan dikaji secara periodik untuk menilai apakah tindakan/aksi pengelolaan yang dilakukan benar-benar mencapai tujuan seperti yang direncanakan.
- Revisi: hasil monitoring dan evaluasi dapat dikumpulkan secara tahunan untuk pemeriksaan kemajuan pelaksanaan rencana EAFM. Setiap 3-5 tahun rencana EAFM dapat disesuaikan jika ada bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa revisi diperlukan. Dalam jangka panjang, rencana EAFM mungkin perlu disesuaikan dengan perkembangan kondisi dan isu terkini.
No Comments