3.2. Cek realitas 2
Cek realitas 2 mempertimbangkan prinsip-prinsip utama EAFM yang telah diperkenalkan sebelumnya, serta beberapa indikator yang mendukung pengelolaan lingkungan. Hal Ini menekankan perlunya adanya kerangka hukum yang efektif; kepatuhan dan penegakan yang efektif; jaringan institusi dan mekanisme koordinasi; skala yang sesuai; kelembagaan pengelolaan perikanan yang mumpuni dan kapasitas manusianya; serta sumber daya manusia dan keuangan yang memadai. Jika ini tidak ada, rencana EAFM perlu dimodifikasi atau kelemahannya diperbaiki.
Implementasi didasarkan pada rencana dan kegiatan yang disepakati, kualitas dan efektivitas implementasi dibentuk oleh sejumlah masalah tata kelola atau “kemampuan untuk mencapai”. Sebagai bagian dari proses EAFM.
Dalam modul ini, pemeriksaan realitas dilakukan untuk menentukan apakah semua elemen penting yang memungkinkan implementasi EAFM sudah ada.
Tabel 6. Prinsip-prinsip EAFM
Tidak |
Sebagian |
ada |
|
1. Tata kelola yang baik |
|||
Apakah ada kerangka hukum yang memadai? |
|||
Apakah aturan dan regulasi sudah ada dan disetujui oleh stakeholder? |
|||
Apakah ada pengaturan kepatuhan dan penegakan yang efektif? |
|||
Apakah institusi dan pengaturan pengelolaan yang efektif sudah cukup berkembang? |
|||
2. Skala yang sesuai |
|||
Apakah pengelolaan pada skala ekologi, manusia, dan tata kelola yang sesuai? |
|||
3. Peningkatan partisipasi |
|||
Apakah pengelolaan bersama dengan pemangku kepentingan terkait berhasil? |
|||
4. Tujuan yang banyak |
|||
Apakah tujuan yang berbeda untuk pengelolaan telah dipertimbangkan dan trade-off dibuat? |
|||
5. Koordinasi dan kerja sama |
|||
Apakah institusi bersarang dan kelompok pengguna sumber daya berfungsi? |
|||
Apakah kerja sama, koordinasi dan komunikasi berlangsung? |
|||
6. Pengelolaan adaptif |
|||
Dapatkah sistem pengelolaan belajar dengan melakukan dan beradaptasi? Apakah hasil monitoring dan Evaluasi (M&E) dikomunikasikan dan ditindaklanjuti dengan mengadaptasi rencana dan pengelolaan selanjutnya? |
|||
7. Pendekatan kehati-hatian |
|||
Apakah pengelolaan sudah dimulai meskipun data dan informasinya kurang? |
|||
Apakah tindakan pengelolaan lebih konservatif ketika ada ketidakpastian yang lebih besar? |
Sumber: FAO Inland EAFM Handbook for Trainees, 2019
1. Tata Kelola yang Baik
Kerangka hukum yang memadai
Di level internasional, instrumen aturan/regulasi terdapat pada beberapa agreement:
-
Rio Declaration on Environment and Development, Rio de Janeiro, 1992
-
Agenda 21 of the UN Conference on Environment and Development, Rio de Janeiro, 1992
-
FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, Rome, 1995 (CCRF)
-
Voluntary Guidelines for securing sustainable small-scale fisheries (VGSSF)
-
Voluntary guidelines on the responsible governance of tenure (VGGT)
-
Convention on biological diversity (CBD)
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa aturan dan regulasi yang menjadi kerangka hukum untuk implementasi EAFM di perairan darat, di antaranya adalah:
-
UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan
-
UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan
-
UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
-
UU No. 7 Tahun 2016 tentang perlindungan nelayan
-
Kepmen KP No. 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi
-
Permen KP 48 Tahun 2020 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kelautan Dan Perikanan
-
Permen KP No. 18 tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan
-
Permen KP. No. 10 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha Dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan Dan Perikanan.
-
Permen KP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Dan Lembaga Pengelola Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Di tingkat provinsi dan kabupaten sendiri, ada beberapa daerah yang sudah memiliki kerangka hukum untuk implementasi EAFM di perairan darat. Kerangka hukum yang dibuat sebaiknya dapat mengatur dan mendukung pengelolaan kolaboratif bersama (co-management) lintas sektor dan lintas stakeholder.
Dalam jangka panjang, EAFM mungkin memerlukan instrumen hukum yang ada -dan praktik yang berinteraksi dengan atau berdampak pada perikanan- untuk dipertimbangkan Kembali dan dibuat penyesuaian jika diperlukan. Selain itu perlu juga diatur interaksi antar sektor melalui undang-undang primer, misalnya kerangka hukum yang mengatur pemanfaatan di Ekosistem Perairan Darat (Air, Ikan, Bendung, PLTA, lingkungan, dsb.)
Meninjau dan mengkonfirmasi dasar hukum untuk semua rencana, kesepakatan, dan usulan kegiatan merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan oleh tim pelaksanaan, dengan fokus pada setiap tingkat (kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan internasional). Tim harus mengidentifikasi undang-undang yang relevan dan keputusan/peraturan yang terkait pada wilayah pengelolaannya masing-masing dengan memperhatikan bahwa dalam banyak kasus tidak terdapatnya interaksi dan integrasi antar sektor perikanan dan sektor lingkungan, sehingga tidak adanya kerangka kerja yang terkonsolidasi dan komprehensif yang mengatur.
Karena implementasi rencana EAFM sering diterapkan di sejumlah sektor, sejumlah undang-undang akan relevan dengan suatu UPP, bukan hanya undang-undang terkait perikanan (Gambar 4).
Gambar 4. Sektor yang mungkin memiliki undang-undang yang relevan dengan EAFM. Undang-undang terkait lingkungan sering kali berlaku di semua sektor (FAO, 2019)
Adanya aturan dan regulasi yang disetujui oleh stakeholder
Salah satu kunci implementasi rencana EAFM adalah memiliki aturan dan regulasi yang disetujui (atau setidaknya diakui) oleh stakeholder. Hal ini dapat memberikan kemungkinan/probabilitas kepatuhan yang lebih tinggi. Melalui langkah-langkah perencanaan EAFM -yaitu menghubungkan tindakan pengelolaan dengan tujuan dan masalah inti- kebutuhan dan alasan untuk memiliki aturan dan peraturan yang sesuai seharusnya menjadi jelas bagi semua stakeholder.
Kepatuhan dan penegakan yang efektif
EAFM didukung oleh kepatuhan yang efektif dan ini melibatkan:
-
Kepatuhan dan penegakan partisipatif oleh stakeholder melalui pengelolaan bersama (co-management);
-
Legislasi dan mekanisme kontrol yang dapat ditegakkan (misalnya izin alat tangkap);
-
Penyuluhan (bekerja sama dengan nelayan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan);
-
Sistem pengumpulan data (misalnya pemantauan lokasi pendaratan, sertifikasi hasil tangkapan, pengisian log book harian);
-
Sistem komunikasi (misalnya radio, telepon seluler, dsb.);
-
Inspeksi pasar;
-
kerja sama lintas wilayah (misalnya komisi perikanan di tingkat WPPNRI PD)
Seperti semua komponen lain dari proses EAFM, partisipasi adalah kunci. Dengan menjadi bagian dari perencanaan, setiap stakeholder lebih mungkin memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) atas tindakan pengelolaan bersama (co-management) yang diusulkan dan harus lebih patuh. Dalam beberapa kasus, stakeholder dapat menjadi bagian dari tim penegak hukum, meskipun kehati-hatian mungkin diperlukan untuk memperjelas peran dan tanggung jawab mereka.
Satu hal yang penting adalah membangun mekanisme kolaboratif antar-lembaga untuk mengelola dan memfasilitasi kepatuhan. Kemitraan memberi wewenang untuk kepatuhan dan juga mekanisme antar-lembaga untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan rencana kepatuhan. Kemitraan dapat menyediakan kondisi yang diperlukan untuk komunikasi dan transparansi yang baik. Mitra dapat dengan mudah berbagi pengetahuan dan informasi tentang perikanan dan pemanfaatannya. Penting juga untuk memulai proses kemitraan dengan pertemuan dengan kepala semua lembaga kunci yang terlibat dalam perikanan untuk menilai komitmen mereka. Kemitraan yang terdiri dari 10 orang atau kurang cenderung lebih mudah dikelola.
Lembaga yang memimpin biasanya adalah lembaga perikanan. Tujuan jangka panjang kepatuhan harus mendorong kepatuhan yang sukarela dari komunitas/industri nelayan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur perikanan (baik formal maupun tradisional/aturan adat/aturan sosial). Untuk mencapai hal ini, sangat direkomendasikan agar kemitraan yang dibangun untuk UPP menyediakan tinjauan strategis untuk masalah kepatuhan dan membantu mengidentifikasi dan menggunakan aset/instrumen kepatuhan secara lebih efektif (yaitu Inspektor, data pengawasan, dll.). Sistem kemitraan tersebut harus dibangun di tingkat kabupaten, tingkatan yang paling dekat dengan aktivitas perikanan.
Pengaturan tata kelola yang efektif
Kerja sama dan koordinasi, baik secara vertikal lintas yurisdiksi yang berbeda (misalnya komunitas hingga nasional) maupun secara horizontal lintas-lembaga terkait yang terlibat dalam EAFM (misalnya lintas perikanan, lingkungan, dan Sumber Daya Air) akan membutuhkan pengaturan struktural yang memformalkan koordinasi dan memfasilitasi partisipasi.
2. Skala Ekologi, Manusia (Human), Dan Tata Kelola Yang Sesuai
Pada langkah pertama (modul 2), skala spasial dan batas-batas UPP sudah disepakati. Namun, EAFM harus diimplementasikan dalam konteks multispasial dan multitemporal yang mencerminkan hierarki alami ekosistem (misalnya lintas batas level kolam air, seperti DAS, hingga sub DAS, sungai, danau, rawa banjiran, dan genangan air lainnya). Memperbesar dan memperkecil skala adalah masalah yang nyata dan perlu diperhitungkan. Pada suatu ekosistem, bagian dari satu atau ekosistem lain mungkin berada di luar UPP dapat memiliki dampak kepada kondisi perikanan di UPP tersebut. Sehingga EAFM sering kali melakukan “peningkatan” atau setidaknya mempertimbangkan beberapa faktor eksternal. Jika UPP tidak memasukkan dampak dari komponen perikanan lainnya, penangkapan ikan skala besar secara komersial, maka pengelolaan bersama untuk penangkapan ikan skala kecil dapat dengan mudah dirusak.
Salah satu tantangan EAFM adalah merancang cara untuk memastikan bahwa tindakan kelembagaan lingkungan dan perikanan di setiap tingkat pemerintahan, diselaraskan satu sama lain dan konsisten dengan tujuan kebijakan EAFM yang disepakati. Pada banyak kasus, ada kesenjangan antara perencanaan nasional dengan tujuan kebijakan, tujuan praktis, dan pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Ini memerlukan pendekatan yang konsisten di tingkat nasional dan daerah, serta memperkuat kerangka kerja yang memungkinkan harmonisasi tujuan kebijakan dan pengelolaan.
3. Peningkatan Partisipasi
Pengelolaan bersama (co-management) adalah pengaturan kemitraan tempat komunitas lokal pengguna sumber daya, pemerintah, stakeholder lain, dan agen eksternal lainnya berbagi tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan perikanan, dengan tingkatan yang berbeda.
Yang sangat penting dalam bekerja dengan komunitas nelayan dan stakeholder lain adalah bagaimana mereka diberdayakan dan diorganisir. Ini melibatkan peningkatan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan kapasitas sehingga stakeholder memiliki kekuatan dan mekanisme untuk bertindak dan membuat keputusan yang rasional. Para stakeholder harus berada dalam posisi mereka sehingga dapat mengambil kepemilikan atas keputusan dan hasil, serta bertindak secara bertanggung jawab.
Pembangunan masyarakat merupakan proses internal pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dibina melalui: (i) berbagi dan diseminasi informasi, (ii) pelatihan, (iii) fasilitasi dan pendampingan, dan (iv) jaringan.
EAFM membutuhkan partisipasi masyarakat yang berkelanjutan. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan mobilisasi. Beberapa jenis kegiatan berikut dapat memprakarsai mobilisasi masyarakat dan/atau memperkuat komunitas atau stakeholder yang berpartisipasi dalam proses EAFM:
-
Pendidikan lingkungan hidup;
-
komunikasi sosial;
-
membangun jaringan;
-
pengembangan organisasi;
-
pengembangan kapasitas SDM; dan
-
pembiayaan yang berkelanjutan.
4. Tujuan Yang Banyak – Tujuan Yang Berbeda dan Pertukaran Antar Tujuan
Karena EAFM mencakup dimensi ekologi, manusia, dan tata kelola dalam pembangunan yang berkelanjutan, tujuan yang saling bertentangan dari pengelolaan bersama akan timbul. Sebagai contoh:
-
Tujuan ekologis: mengurai upaya penangkapan dan jumlah kapal penangkap ikan;
-
tujuan ekonomi: menjadikan nelayan dan value chain pendukung menjadi lebih layak secara ekonomis;
-
tujuan sosial: meningkatkan lapangan pekerjaan; dan
-
tujuan tata kelola: meningkatkan pendapatan yang dikumpulkan dari sektor perikanan.
Dua tujuan pertama harus kompatibel, yaitu mengurai upaya penangkapan ikan harus menghasilkan peningkatan tangkapan per unit upaya, terutama spesies bernilai tinggi. Namun, itu mungkin tidak menghasilkan peningkatan lapangan kerja. Dalam kasus seperti itu, intervensi lain mungkin diperlukan, seperti promosi mata pencaharian alternatif bagi mereka yang terdampak dari pengelolaan bersama (co-management) tersebut.
Sebagaimana ditingkatkan di semua penjelasan EAFM, penting untuk mengembangkan paket tindakan pengelolaan bersama yang akan mencapai pertukaran yang dapat diterima dari semua tujuan yang diinginkan.
Dengan sumber daya alam yang terbatas seperti perikanan, tidak selalu mungkin untuk memiliki: (i) stok ikan yang sehat, (ii) lingkungan yang sehat, (iii) ekonomi yang dinamis, dan (iv) pekerjaan penuh, itu semua dalam waktu yang sama, terlepas dari kebijakan menyeluruh yang mungkin mencoba untuk menyarankan yang sebaiknya.
5. Koordinasi dan Kerja Sama
Sepanjang penjelasan pada modul EAFM ini ditekankan bahwa EAFM memiliki kebutuhan adanya kerjasama antar lembaga perikanan dengan lembaga lingkungan untuk memastikan koordinasi, konsultasi, dan kerja sama, termasuk pengambilan keputusan bersama dengan sektor-sektor lain yang saling berinteraksi. Sebuah pemahaman tentang hubungan antar lembaga ini penting ketika mempertimbangkan adaptasi kelembagaan terhadap EAFM, karena setiap perubahan yang berhasil memerlukan pemahaman tentang bagaimana sistem kelembagaan benar-benar bekerja dan faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan.
Idealnya, sebuah struktur untuk pengelolaan perikanan harus dibentuk untuk mencakup area skala yang cukup besar seperti DAS, danau besar atau badan air lintas batas, yaitu rencana pengelolaan terpadu dapat dikembangkan oleh dewan penasihat DAS/regional dan berfungsi sebagai dasar untuk pengambilan keputusan terpusat.
Peningkatan koordinasi, kerja sama, dan komunikasi di dalam dan antar instansi terkait dan kelompok pengguna sumber daya sangat diperlukan, baik dalam proses perencanaan dan dalam proses implementasi. Hal ini membutuhkan peran dan tanggung jawab yang jelas, peningkatan koordinasi, dan integrasi antar instansi dan pemanfaat lainnya.
6. Pengelolaan Adaptif
Seperti yang ditekankan sebelumnya, sangat penting untuk mengadopsi pendekatan pengelolaan yang adaptif. Salah satu dari kuncinya adalah memiliki sistem M&E yang baik, dan kemudian mengembangkan target serta indikator yang efektif yang terkait dengan tujuan pengelolaan bersama. Ketika memiliki target serta indikator yang efektif, kinerja pengelolaan bersama dapat dilacak dan diadaptasi berdasarkan pembelajaran yang didapat selama proses implementasi.
7. Pendekatan Kehati-hatian
Pendekatan kehati-hatian menetapkan bahwa kurangnya informasi bukanlah alasan untuk menunda tindakan pengelolaan. Data tentang perikanan darat seringkali memiliki kualitas kurang baik, terutama dalam kasus yaitu sebagian besar nelayan adalah nelayan berskala kecil dan mungkin tidak memasarkan ikannya melalui saluran yang jelas (seperti tempat pendaratan ikan).
Pendekatan kehati-hatian juga menetapkan bahwa pengelolaan harus lebih konservatif (yaitu menghindari risiko) dan ada lebih banyak ketidakpastian. Misalnya jika dampak alat tangkap tertentu pada habitat kritis tidak terlalu diketahui, pendekatan konservatif akan membatasi penggunaan alat tangkap sejauh mungkin, jika jenis alat tangkap tersebut memang terbukti merusak habitat.
No Comments