Skip to main content

POTENSI DAN STATUS BIODIVERSITAS IKAN

Sebagai negara dengan biodiversitas ikan tertinggi di dunia, Indonesia tercatat salah satu negara dengan jumlah keanekaragaman jenis ikan tawar tertinggi yaitu 1.275 jenis dari keseluruhan 4.978 jenis (Froese dan Pauly, 2023).  Adapun jenis ikan endemik berjumlah 400 jenis, dan ikan pendatang atau introduksi asing 247 jenis (Dina et al., 2022).

Biodiversitas ikan yang tercatat di DAS Serayu sebanyak 64 spesies yang tergolong ke dalam 32 famili dan 52 genus (lampiran 1). Famili Cyprinidae merupakan jenis ikan dengan jumlah spesies terbanyak 14 spesies, kemudian Bagridae 5 spesies, diikuti Anguillidae dan Gobiidae masing-masing 4 spesies (Gambar 4.1). Besarnya jumlah spesies dari Cyprinidae diduga karena kemampuan adaptasi yang tinggi di berbagai segmen perairan tawar. Hasil kajian Kurniasih (2002) bahwa Cyprinidae, Anguillidae dan Bagridae termasuk penyumbang spesies ikan di sungai Serayu di Kabupaten Wonosobo.


Gambar 4.1. Jumlah spesies pada famili predominan di DAS Serayu

 

Distribusi ikan pada DAS Serayu antar bagian (Hulu, Tengah, dan Hilir) dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bagian Hulu

Pada bagian hulu DAS Serayu tercatat sebanyak 42 spesies ikan yang mendiaminya (Lampiran 1). Spesies ikan tersebut sebagian besar dapat ditemukan di bagian tengah maupun hilir, namun terdapat 3 spesies ikan yaitu Channa gachua, Glyptothorax major dan G. platypogon yang hanya dijumpai di bagian hulu saja. Selain itu, ditemukan pula 1 jenis udang tawar, yaitu udang galah (Famili Palaemonidae; spesies Macrobrachium rosenbergii).

Bagian Tengah

Adapun untuk bagian tengah DAS Serayu diinformasikan terdapat 43 spesies ikan (Lampiran 1). Hasil kajian terlihat bahwa spesies ikan di bagian tengah cenderung lebih besar dapat dijumpai juga di bagian hulu dibandingkan hilir. Untuk anggota spesies tersebut diantaranya Aplocheilus panchax, Barbodes binotatus, Mystus singaringan, Hemibagrus nemurus dan Anabas testudineus.

Bagian Hilir

Selanjutnya pada bagian hilir DAS Barito didiami 26 spesies ikan (Lampiran 1). Spesies ikan tersebut diantaranya Ambassis nalua, Mystus gulio, Strongylura strongylura, Caranx ignobilis, Gerres oyena, Awaous sp., Glossogobius giuris, Psammogobius biocellatus, Sicyopterus cyanocephalus, Megalops cyprinoides dan Dermogenys pusilla.

Berdasarkan distribusi tersebut ternyata hanya terdapat 5 spesies ikan yang mempunyai sebaran luas dari hulu sampai hilir yaitu Anguilla marmorata, Channa striata, Amphilophus labiatus, Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus. Sedangkan jenis-jenis ikan lainnya distribusinya ada yang terdapat di bagian hulu sampai tengah atau tengah sampai hilir. Jika dilihat berdasarkan jumlah jenis ikan berdasarkan bagian DAS maka tampak bahwa pada bagian hilir paling sedikit, kemudian hulu dan tengah tidak jauh berbeda. Pola distribusi seperti halnya yang dijelaskan oleh Kottelat et al. (1996). Jumlah jenis ikan pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Jumlah jenis ikan pada masing-masing bagian

Beberapa jenis ikan ekonomis penting yang terdokumentasi pada kajian ini antara lain pelus (Anguilla marmorata), beong (Hemibagrus nemurus), kutuk (Channa striata), nila (Oreochromis niloticus), Lempon (Tor douronensis dan Tor soro), gurami (Osphronemus goramy), mas (Cyrpinus carpio), melem (Osteochilus vittatus), tawes (Barbonymus gonionotus), dan brek (Barbonymus balleroides). Selanjutnya bila dilihat berdasarkan nilai ekonomisnya maka yang harganya tinggi adalah pelus dan lempon karena mencapai Rp. 100.000 per kilogram. Selain itu terdapat ikan gurami yang banyak diminati masyarakat dan banyak disajikan di rumah makan/restoran. Ikan gurami ini termasuk jenis ikan asli yang harganya relative stabil serta sudah dibudidayakan secara luas oleh masyarakat. Kedua jenis ikan tersebut memang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai ikan primadona. Diantara jenis ikan ekonomis penting tersebut juga terdapat ikan yang bukan asli tetapi dibudidayakan oleh masyarakat antara lain nila dan mas.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya ikan adalah dengan pengaturan penangkapan yang terdiri dari waktu, lokasi ukuran dan alat tangkap yang digunakan (Ogutu-Ohwayo et al., 1998). Sebagai contoh ikan hampal, lalawak, nila, nilem dan tawes di Waduk Jatiluhur ditangkap pada ukuran 25,5; 17,0; 21,5; 16,5 dan 25,0 cm dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring > 3,0 inci. Ikan yang dieksploitasi harus lebih besar dari ukuran ikan pertama kali matang gonad (Shalloof & Salama, 2008) sehingga ukuran ikan yang pertama kali tertangkap menjadi lebih besar (El-Kasheif at al., 2015). Ukuran ikan yang direkomendasikan untuk dieksploitasi dengan nilai ekonomi optimal mempunyai ukuran lebih besar jika dibandingkan ukuran pertama kali matang gonad. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan untuk bereproduksi menghasilkan keturunan. Penggunaan ukuran mata jaring ≥ 3 inci merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk ekslpoitasi sumberdaya ikan. Hal ini berkaitan dengan pertimbangan aspek ekonomi dan kelestarian sumberdaya. Pengaturan penggunaan alat tangkap yang digunakan untuk eksploitasi berdasarkan selektivitas ukuran merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (Laurence & Marie-Joelle, 2016). Pengaturan ukuran ikan yang layak tangkap ternyata memberikan peningkatan nilai bioekonomi sumberdaya ikan di Karnataka (Dineshbabu et al., 2012). Hal ini berkaitan dengan berkurangnya hasil tangkapan sampingan dan ikan target yang berukuran kecil sehingga terjadi kesetimbangan antara eksploitasi dan rekruitmen (Balanced harvest) (Breen et al., 2016). Kebijakan pembatasan ukuran minimal yang boleh dieksploitasi merupakan cara yang efektif dalam pemanfaatan yang berkelanjutan (Svedang & Hornborg, 2014). Ikan induk yang berukuran besar cenderung memberikan jumlah dan kualitas larva yang lebih baik dibandingkan dengan induk ikan yang berukuran kecil (Zhenlin et al., 2014).

Untuk Anguilla spp. diketahui memiliki kandungan gizi seperti vitamin A, B1, B2, B6, C, D, DHA (Docosapentaenoic acid) dan omega-3, serta diinformasikan bahwa protein albuminnya juga dapat menyembuhkan luka. Sedangkan secara umum ikan Tor spp. mempunyai daging yang cukup tebal, dan memiliki rasa gurih juga dapat disajikan dalam berbagai olahan masakan (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Ikan Tambra, Tor spp. (Sumber foto Gema Wahyudewantoro)


Tingginya jumlah spesies ikan yang ada di DAS Serayu bukanlah tanpa ancaman, menurut data di IUCN tercatat sebanyak 4 spesies ikan terancam punah (Tabel 4.1). Namun 3 spesies merupakan introduksi yaitu Oreochromis mossambicus, O.niloticus dan Cyprinus carpio. Keberadaan ikan introduksi dikhawatirkan dapat menjadi invasive apabila tidak dikontrol dengan baik. Sedangkan untuk spesies asli yang terancam adalah sidat A.bicolor. Seperti kita ketahui aliran disepanjang DAS Serayu sebagian telah mengalami erosi dan sedimentasi, ditambah adanya bendungan yang diduga menghalangi jalur ikan sidat untuk beruaya. 

Sidat yang mendiami DAS Serayu ada 3 spesies yaitu Anguilla bicolor, A. marmorata dan A,nebulosa. Ketiganya masuk ke dalam jenis-jenis ikan terancam punah dikarenakan kerusakan habitat. Potensi sidat tidak diragukan dan merupakan komoditas non migas bernilai ekonomis tinggi. Oleh sebab itu diperlukan perhatian pemerintah bersama dengan pihak terkait lainnya untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada, agar kelestarian ekosistem di DAS Serayu dapat terjaga.

 Di sisi lain pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang mengikat melalui Kementrian terkait yang berhubungan dengan DAS Serayu. Namun tinggal menunggu implementasinya di lapangan, apakah telah dilaksanakan dengan benar atau masih terkendala hal-hal lainnya 





Tabel 4.1. Jenis-Jenis Ikan Terancam Punah DAS Serayu

No. 

Famili

Spesies

IUCN

1

Anguillidae

Anguilla bicolor

NT

2

Cichlidae

Oreochromis niloticus*

VU

3


Oreochromis mossambicus*

VU

4

Cyprinidae

Cyprinus carpio*

VU



Regulasi terkait perlindungan jenis ikan yang terbaru adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang jenis ikan dilindungi. Selain itu terdapat beberapa regulasi yang mengatur perlindungan terbatas terhadap jenis ikan tertentu, saalah satunya adalah Keputusan Menteri Kalutan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Perlindungan terbatas ikan sidat (Anguilla spp.). Berdasarkan hasil kajian biodiversitas ikan di DAS Serayu maka jenis ikan yang dilindungi secara terbatas yaitu ikan sidat (Anguilla bicolor) dan pelus (Anguilla marmorata) (Gambar 4.4).  Ketentuan perlindungan terbatas terhadap ikan sidat pada regulasi tersebut sebagai berikut:

  • benih semua spesies Ikan Sidat (Anguilla spp.) pada stadium glass eel tidak boleh ditangkap setiap bulan gelap tanggal 27-28 Hijriah; 

  • Anguilla bicolor dan Anguilla interioris dewasa dengan berat diatas dua kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu; dan 

  • Anguilla marmorata dan Anguilla celebesensis dewasa, dengan berat diatas lima kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu

Berdasarkan hasil kajian di DAS Serayu tidak ditemukan jenis ikan yang dilindungi secara penuh. Selain itu tidak ada satupun jenis ikan yang diatur/masuk ke dalam appendiks CITES. Dengan demikian secara umum pemanfaatan terhadap jenis ikan di DAS Serayu masih relative aman selama memperhatian azas kelestarian dan diantaranya tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti setrum dan racun.

Gambar 4.4. Pelus (Anguilla marmorata) di Serayu

Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap komuniutas ikan yang ada di dalamnya. Masing-masing jenis ikan tersebut mempunyai kepekaan dan kemampuan toleransi yang bervariasi terhadap kondisi lingkungannya. Oleh karena itu beberapa jenis ikan dapat dijadikan sebagai indicator dari kondisi perairan yang menjadi habitatnya (bioindicator). Jia dan Chen (2013), ikan dapat dijadikan sebagai bioindikator yang terbaik karena sebarannya luas, mudah diidentfikasi, dan memberikan respon yang secara terintegrasi. Jenis ikan yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi dapat dijadikan untuk kondisi lingkungan yang memburuk, sebagai contoh ikan sapu-sapu (Hypostomus plecosus) dan ikan seribu (Poecillia reticulata) (Gambar 4.5). Bila kedua jenis ikan tersebut sangat melimpah dan jenis ikan lainnya sangat minim maka ditengarai bahwa perairan tersebut kondisinya buruk. 


Gambar 4.5. Ikan sapu-sapu dan ikan seribu (sumber foto Haryono, 2020)


Sebaliknya, terdapat pula jenis ikan yang sangat sensitive terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa perairan tersebut masih baik, sebagai contoh adalah anggota famili Cyprinidae. Hasil kajian di DAS Serayu terdapat jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai bioindicator untuk kondisi lingkungan yang masih baik, diantaranya adalah ikan hampal, Hampala macrolepidota.  Jenis ikan ini merupakan anggota Famili Cyprinidae yang biasanya hidup pada perairan dengan kandungan oksigen yang tinggi, jernih, dan belum tercemar, serta termasuk ikan predator. 


Spesies asing invasif (Invasive Alien Species, IAS) adalah hewan, tumbuhan, dan patogen atau mikroba yang masuk kedalam suatu lingkungan yang baru baik secara sengaja maupun tidak disengaja  (Helfman, 2007). Spesies asing invasif dapat berupa  spesies, subspesies, atau taksonomi yang lebih rendah yang diintroduksi diluar dari habitat alaminya termasuk gamet, benih, telur dan bagian dari spesies yang dapat bertahan dan melakukan proses reproduksi (McNeely et al., 2001). Invasi biologi telah banyak terjadi di perairan umum di seluruh dunia. Banyak spesies ikan air tawar yang dipindahkan keluar habitat aslinya melalui balast water, kanal, introduksi, lepasan dari akuarium, budidaya dan dapat berasal dari ikan umpan (Strayer, 2010). Jenis ikan yang banyak dibudidayakan negara-negara di Asia termasuk Indonesia merupakan spesies asing (De Silva et al., 2006). 

Keragaman jenis biota akuatik menunjukkan tanda – tanda penurunan yang disebabkan oleh introduksi spesies asing yang tidak hati-hati. Spesies asing tersebut dapat berkembang dan menjadi invasif (Olden et al., 2008). Hal ini disebabkan oleh adanya kompetisi antara spesies introduksi dan spesies asli dalam pemanfaatan pakan, habitat dan pemangsaan, introduksi parasit dan penyakit (Kumar, 2000; Moyle et al., 2003). Adanya spesies asing pada suatu ekosistem air tawar akan berdampak pada struktur komunitas ikan karena ikan tersebut dapat menjadi dominan, Hal ini terjadi di Danau Banyoles, Spanyol (Berthou & Amich, 2002). Dampak ekologis yang sangat dirasakan dengan keberadaan ikan spesies asing invasif adalah penurunan keragaman jenis ikan asli. Introduksi spesies ikan air tawar merupakan ancaman utama dari keaslian genetika ikan asli di suatu perairan di seluruh dunia (Elvira & Almodovart, 2001) karena terjadi inbredding antara spesies alien dan spesies asli perairan tersebut (De Jong et al., 2004). Introduksi ikan predator merupakan salah satu penyebab terjadinya  penurunan ikan asli pada suatu badan air. Hal ini terjadi di Danau Victoria dimana introduksi Nile perch menyebabkan penurunan populasi Haplochromines (Goudswaard et al., 2008). Keberadaan ikan spesies asing invasif berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan pada badan air tersebut. Umumnya ikan spesies asing  bukan merupakan jenis ikan ekonomis penting. Ikan-ikan tersebut akan mendominasi hasil tangkapan nelayan sehingga biaya operasional tidak tertutup dari hasil tangkapan tersebut. Hal ini mengakibatkan nelayan di Waduk Sempor banyak nelayan yang beralih profesi sebagai petani dan buruh bangunan.  Aktivitas kegiatan perikanan tangkap di Waduk Sermo juga mengalami hal yang sama, dimana aktivitas nelayan sudah tidak ada lagi. Sebelum adanya ikan spesies asing invasif tersebut, aktivitas perikanan tangkap pada kedua badan air tersebut cukup baik. Kelompok nelayan yang merupakan modal dasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sudah tidak aktif. Nelayan sangat resah terhadap keberadaan ikan asing invasif tersebut sehingga mengharapkan adanya suatu upaya untuk mengendalikan populasi ikan spesies asing invasif tersebut. 

  Spesies penginvasi dapat mempengaruhi suatu sistem air tawar pada tingkat individu, populasi, komunitas dan ekosisitem. Pada tingkat individu, spesies penginvasi akan mengubah perilaku spesies asli, mempengaruhi penggunaan habitat dan pemangsaan. Pada tingkat populasi, spesies penginvasi akan menstimulir perubahan kelimpahan dan distribusi dari spesies lainnya, sedangkan pada tingkat komunitas, spesies penginvasi akan berinteraksi antar populasi dan menyebabkan perubahan tingkat trofik. Pada tingkat ekosistem spesies penginvasi akan secara spesifik. Introduksi ikan dilakukan untuk keperluan komersial atau keperluan budidaya baik diperairan tawar maupun laut. Introduksi jenis-jenis ikan African tilapia (Oerochromis spp) ke perairan Danau Nicaragua berdampak pada komunitas plankton dan produktivitas primer dan mengubah populasi ikan asli (McKay et al., 1995). 

Hasil kajian terhadap jenis ikan introduksi di DAS Serayu tercatat sebanyak 12 spesies yaitu bawal air tawar (Colossoma macropomum), brasscarp (Ctenopharyngodon idella), cendol/mirid (Xiphophorus helleri), gondok (Gambusia affinis), lele dumbo (Clarias gariepinus), mas (Cyprinus carpio), mujair (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), red devil (Amphilophus labiatus), sapu-sapu (Hypostomus plecostomus), seribu (Poecillia reticulata) dan sepat rawa (Trichopodus trichopterus).

Selain jenis introduksi, hasil kajian juga mencatat sebanyak tiga spesies dari DAS Serayu merupakan ikan invasive yaitu red devil (Amphilophus labiatus), ikan seribu (Poecilia reticulata), dan sapu-sapu (Hypostomus plecosus). Ketiga jenis ikan tersebut bukan hanya ditemukan di DAS Serayu akan tetapi juga melimpah di perairan darat dari Aceh sampai Papua. Hal ini tentunya perlu menjadi bahan pertimbangan ketika merumuskan kebijakan pengelolaan pada perairan darat yang sudah ditemukan ketiga jenis ikan tersebut. Masuknya jenis ikan invasif ke suatu perairan akan merugikan baik secara ekonomi maupun ekologi.  Wargasasmita (2005), bahwa masuknya jenis ikan asing yang bersifat invasif ke perairan umum merupakan salah satu faktor utama yang mengancam kelestarian jenis ikan asli. Jenis ikan yang dimaksud antara lain sapu-sapu (Hypostomus spp.) dan red devil (Amphilophus spp.) yang mudah ditemukan di berbagai perairan di wilayah Indonesia. Selain itu ada beberapa kasus lepasnya jenis ikan yang bersifat invasif ke perairan darat seperti piranha (Pygocentrus nattereri) dan arapaima (Arapaima gigas). 

Ancaman jenis ikan invasif terhadap komunitas ikan asli berkaitan dengan predasi, kompetisi, hibridisasi, modifikasi habitat, dan penyakit. Dengan demikian sangat mengkhawatirkan terhadap kelestarian ikan asli. Hal ini disebabkan jumlah jenis ikan asing yang masuk ke dalam wilayah Indonesia mencapai ratusan jenis dan beberapa diantaranya mempunyai karakter yang cenderung bersifat invasif. 

Spesies target dari project IFish FAO meliputi ikan belida (Notopterus notopterusChitala lopis, C. borneensis, dan C. hypselonotus), arwana (Scleropages formosus dan S. jardini), dan sidat (Anguilla spp.). Hasil kajian terhadap spesies target tersebut untuk DAS Serayu hanya terdapat ikan sidat dengan spesies yang sudah banyak dimanfaatkan adalah Anguilla bicolor dan A. marmorata. Selain kedua spesies tersebut, di DAS Serayu kemungkinan juga terdapat spesies A. nebulosa akan tetapi masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Ikan sidat merupakan komoditas perikanan komersial dengan harga jual dan tingkat konsumsi yang cukup tinggi dengan Jepang sebagai negara tujuan pemasaran utama. Tingkat konsumsi sidat Jepang mencapai 100.000 ton/tahun sedangkan Taiwan berkisar 52.000 ton/tahun (Restu, 2006). Kebutuhan sidat di pasar internasional tidak hanya sidat ukuran konsumsi, namun juga sidat dalam bentuk benih yang akan dibesarkan dalam budidaya sidat. Beberapa negara yang saat ini membutuhkan benih sidat untuk dibudidayakan antara lain adalah Jepang, Taiwan, Tiongkok, dan Korea Selatan.  Anguilla spp. atau yang lebih dikenal dengan ikan sidat (lubang (Jabar), pelung(Jateng), masapi (Sulteng)) merupakan salah satu sumberdaya perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan secara ekonomi.