Skip to main content

1.1. Gambaran umum

Lingkungan sumber daya ikan menurut UU Perikanan No. 9 tahun 2009 tentang Perikanan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik dan karakter penggunanya. Fisik mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energy tata surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam perairan. Sementara karakter penggunanya adalah keputusan menggunakan lingkungan fisik tersebut agar tetap lestari. 

Lingkungan sumber daya ikan perairan darat sangat rentan oleh berbagai gangguan karena tingkat pemanfaatannya yang tinggi, misalnya untuk pertanian, pemukiman, industri (Strayer and Dudgeon, 2010). Aktivitas tersebut membawa dampak terdegradasinya ekosistem, mengurangi nilai ekonomis dari jasa ekosistem, misalnya terkait ketersediaan ikan dan sumber daya pendukung untuk sektor rekreasi, wisata dan lain-lain (Dyson, Bergkamp & Scanlon, 2003). Ancaman terhadap lingkungan perairan darat pada umumnya timbul karena pertumbuhan populasi manusia sehingga memicu terjadinya modifikasi lingkungan, serta perluasan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung memanfaatkan wilayah terestrial dan perairan darat. Secara nasional, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang merupakan nilai komposit dari empat indeks, yaitu Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Lahan, dan Indeks Kualitas Air Laut menunjukan bahwa terjadi peningkatan nilai IKLH dari kontribusi nilai indeks kualitas udara dan kualitas air laut yang meningkat. Sebanyak 80% propinsi mampu mencapai target IKLH 2021, sehingga nilai IKLH berada pada rentang baik. 

Namun, indeks kualitas air tahun 2021 dideskripsikan menurun dibanding tahun 2020, sementara pada tahun 2020 diketahui sebanyak 44% sungai-sungai besar di 34 propinsi mengalami pencemaran berat (KLHK, 2020). Dengan memakai parameter kunci seperti parameter fisik air termasuk padatan terlarut, kebutuhan oksigen, parameter kimia, dan Fecal Coli, sebagai gambaran dampak dari tekanan lingkungan (faktor antropogenik). Tekanan antropogenik terhadap lingkungan perairan darat yang sampai mengarah ke kepunahan populasi mencapai 65% dalam skala sedang hingga berat (Vörösmarty et al. 2010). Multiple stressor tidak hanya menekan perairan dari sisi kualitasnya, kerusakan habitat dan lingkungan juga disebabkan oleh penangkapan dan aktivitas budidaya (Reid et al., 2018). 

Contoh permasalahan yang lebih spesifik yang terjadi pada ekosistem perairan darat adalah degradasi lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) hingga di keseluruhan wilayah sungai. Pertambahan populasi penduduk, selain permasalahan koordinasi antara hulu dan hilir, penambangan pasir yang intensif serta kelembagaan juga menambah tekanan terhadap lingkungan sungai. Demikian hal nya dengan status mutu air sungai-sungai yang berada di suatu kawasan DAS yang turut mengalami pencemaran (Yetti et al., 2011; Aisyah, 2019). Degradasi perairan DAS bahkan berdampak pada penurunan keanekaragaman jenis ikan (Pusriskan, 2018). Jumlah DAS kritis pun terus menerus bertambah seiring waktu, dimana tercatat 22 DAS kritis pada tahun 1984 yang kemudian menjadi 106 pada tahun 2016. 

Kawasan bantaran sungai yang telah ditetapkan sebagai kawasan hijau turut mengalami dampak dari aktivitas manusia, bahkan sebagian besar bantaran sungai beralih fungsi, tidak sesuai peruntukannya.  Pengelolaan bantaran dan sempadan sungai (kawasan yang mempertahankan fungsi sungai) semestinya bersandar pada Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang sungai, dan aturan turunannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau. Di dalamnya tercantum kriteria penetapan garis sempadan sungai dan danau, dimana semakin dalam sungai maka semakin lebar sempadannya, dan batas garis sempadan danau ditentukan paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi badan danau.

Selain sungai, DAS, Kawasan sempadan, degradasi lingkungan juga terjadi di perairan waduk. Penyuburan perairan atau eutrofikasi pada umumnya merupakan masalah utama di ekosistem waduk yang terjadi setelah 1-2 tahun pengisian air (inundasi). Di samping itu, penyuburan perairan juga diduga berasal dari perkembangan perikanan budidaya pada ekosistem waduk melalui system keramba jaring apung (KJA) sebagaimana yang berkembang di beberapa waduk di Indonesia (yang peruntukannya bukan sebagai penyedia air baku). Sumber pencemaran dari KJA berasal dari penumpukan sisa pakan dan hasil metabolisme ikan yang cenderung meningkatkan unsur hara. Peningkatan unsur hara di dalam perairan kemudian mempercepat eutrofikasi dan menstimulir blooming algae, anoksia dan perairan sehingga menjadi toksik (Beveridge, 1996). Penurunan baku mutu perairan di kedua waduk tersebut ditandai dengan konsentrasi fosfor (Total Phosphor) yang melebihi konsentrasi maksimum yang mampu ditampung perairan waduk, yang menandakan bahwa beban pencemaran unsur hara sudah melebihi ambang baku air peruntukan bagi biota.

Fluktuasi alami muka air Sebagai bagian dari hidro-klimatimatika, merupakan masalah yang umum terjadi pada danau dan waduk sebagai akibat dari adanya variasi curah hujan, keberadaannya pun mempengaruhi sumber daya ikan di perairan sungai dan rawa. Sistem hidrologi meliputi proses terjadinya evaporasi/presipitasi atau curah hujan, infiltrasi/perkolasi air dalam tanah atau pergerakan air menuju muka air tanah serta air permukaan. Curah hujan adalah faktor utama yang mengendalikan proses siklus hidrologi di dalam suatu daerah aliran sungai yang juga terkait dengan perairan waduk (Soewarno, 2015). Sistem klimatologi seperti lama penyinaran dan suhu udara sangat berperan bagi kegiatan perikanan, karena pengaruh keduanya berdampak terhadap produktivitas perairan dan tingkat pertumbuhan biota di dalamnya (Radiarta et al. 2011).